Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Kesehatan

PDHMI Dorong Penggunaan Obat Modern Asli Indonesia di JKN

OMAI merupakan obat yang terbuat dari bahan alam berupa ekstrak atau fraksi tanaman yang tumbuh di Indonesia

Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Sanusi
zoom-in PDHMI Dorong Penggunaan Obat Modern Asli Indonesia di JKN
Freepik
Ilustrasi 

Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Saat ini perkembangan pengobatan dalam dunia medis turut memanfaatkan obat-obatan yang berasal dari keanekaragaman hayati Indonesia.

Hal ini dibuktikan melalui kehadiran Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) yang telah terbukti secara praklinis maupun klinis bisa digunakan untuk terapi penyakit.

Pada Pertemuan Ilmiah Tahunan Perkumpulan Dokter Herbal Medik Indonesia (PIT PDHMI) 2021, para saintis serta praktisi kesehatan pun menegaskan bahwa OMAI dapat digunakan untuk pengobatan pasien.

Baca juga: Terobosan Baru, Bahan-bahan Herbal Ini Bantu Sembuhkan Sakit Kepala

Molecular Pharmacologist sekaligus Direktur Pengembangan Bisnis dan Saintifik PT Dexa Medica, Dr Raymond Tjandrawinata mengatakan para dokter memiliki kewenangan dalam membust resep obat herbal, ini terjadi pada sejumlah negara.

Baca juga: Praktisi Jaminan Kesehatan Usulkan Tinjau Kembali Manfaat JKN

Seperti Korea Selatan, China, Taiwan, hingga Jerman.

"Di beberapa negara itu mereka (dokter) memiliki kewenangan untuk meresepkan obat herbal. Contohnya di South Korea ini ada 15,26 persen dokter meresepkan obat herbal, kemudian di China 12,63 persen, di Taiwan 9,69 persen, yang paling tinggi adalah di Jerman, lebih dari 50 persen dari para dokter di Jerman sudah terlatih dan boleh menuliskan obat herbal dalam terapi. Otomatis obat herbal itu masuk dalam semacam JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) di sana," kata Dr Raymond, dalam webinar PIT PDHMI 2021, Sabtu (20/3/2021) lalu.

BERITA TERKAIT

Ia menjelaskan, perusahaannya juga telah banyak mengembangkan OMAI berbasis molekuler, karena khasiat OMAI tidak kalah dengan obat berbasis kimiawi.

OMAI merupakan obat yang terbuat dari bahan alam berupa ekstrak atau fraksi tanaman yang tumbuh di Indonesia, tanaman asli Indonesia maupun tanaman yang pernah ditulis dalam buku-buku herbal Indonesia.

"Riset penemuannya pun dilakukan di Indonesia serta memiliki data mekanisme kerja yang jelas, diproduksi secara farmasetika modern dan telah memperoleh status sebagai Obat Herbal Terstandar atau Fitofarmaka," jelas Dr Raymond.

Beberapa OMAI yang telah teruji pun dianggap mampu menjadi substitusi obat- obatan kimia yang umumnya memiliki bahan baku impor.

OMAI tersebut diantaranya adalah Redacid yang dikembangkan dari kayu manis (Cinamommum Burmanii) yang terbukti mampu mengobati gangguan asam lambung.

Kemudian ada pula OMAI yang dikembangkan dari kayu manis dan dikombinasikan dengan tanaman bunggur (Lagerstroemia) dan disebut Inlacin, ini teruji klinis mampu menurunkan HbA1C bagi para diabetesi.

Selanjutnya ada HerbaPAIN yang dikembangkan dari tanaman mahkota dewa (Phaleria macrocarpa), OMAI ini teruji mampu mengurangi rasa nyeri.

Lalu ada Stimuno, yang teruji klinis selama 17 tahun sebagai imunomodulator.

Dr Raymond menekankan, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan impor bahan baku obat hingga 30 persen jika memanfaatkan OMAI.

Selain itu, pengembangan OMAI juga dapat membantu perekonomian para petani Indonesia.

Salah satu pengurus PDHMI, dr Rimenda Sitepu meyakinkan bahwa OMAI dapat menjadi substitusi dalam upaya penanganan penyakit.

Menurutnya, pengembangan obat bahan alam menjadi Obat Herbal Terstandar (OHT) maupun Fitofarmaka merupakan upaya pembuktian ilmiah.

"Obat Modern Asli Indonesia dapat digunakan sebagai substitusi atau komplementer dalam penanganan atau terapi pada kondisi suatu penyakit, diperlukan banyak penelitian obat bahan alam, dapat menjadi pertimbangan bagi dokter untuk digunakan dalam usaha untuk pengobatan pasien berbasis Evidence Base Medicine," jelas dr Rimenda.

Sementara itu Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) terus mendukung uji klinis bahan alam Indonesia yang terbukti secara empiris untuk menjadi OMAI.

Seperti yang disampaikan Deputi bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan dan Kosmetik BPOM, dr Reri Indriani.

"Kami sepakat produk OMAI harus didukung pemanfaatannya dan kami komitmen mendukung hilirisasi obat bahan alam, kami terus berupaya mendukung obat bahan alam Indonesia untuk jadi OMAI dan masuk dalam program kesehatan nasional," kata dr Reri.

Oleh karena itu regulasi untuk Dokter Herbal dianggap sangat penting dalam mengoptimalkan penggunaan OMAI di Indonesia.

Direktur Pelayanan Kesehatan Tradisional, Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan, dr Wiendra Waworuntu menyatakan bahwa minat masyarakat Indonesia terhadap pengobatan tradisional sangat tinggi.

Hal ini ditunjukkan oleh data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, sebanyak 44,3 persen masyarakat Indonesia memanfaatkan layanan kesehatan tradisional untuk kesehatan.

Namun menurut Wakil Ketua Umum 1 sekaligus Ketua Terpilih Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), dr Muhammad Adib Khumaidi, Sp.OT, saat ini obat dari bahan alam atau pengobatan tradisional di Indonesia belum memiliki posisi kuat dalam pemanfaatan bagi dunia medis seperti di Jepang.

Di Negeri Sakura tersebut, pengobatan tradisional telah diakui oleh pemerintahnya, bahkan ditanggung oleh asuransi kesehatan.

Ia menegaskan bahwa dokter sebagai healthcare practitioner perlu memiliki pengetahuan tentang pengobatan tradisional atau herbal.

Selain itu juga harus memiliki kompetensi dalam mengintegrasikan 2 paradigma pengobatan ke dalam pelayanan kesehatan.

"Misalnya dengan cara insersi kurikulum pengobatan tradisional komplementer atau herbal ke dalam pendidikan kedokteran dan penguatan kompetensi dokter," kata dr Adib.

Ia pun kemudian mendorong disusunnya regulasi yang melegitimasi pengobatan herbal di Indonesia.

Hal yang sama turut disampaikan Ketua Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Prof Taruna Ikrar bahwa hingga saat ini pihaknya belum pernah menerbitkan STR untuk Dokter Herbal Medik, karena belum ada payung hukumnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas