Penurunan Kasus Stunting akan Meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia
PR yang dihadapi adalah menurunkan jumlah kasus stunting menjadi sebesar 14 % di tahun 2024, termasuk berkomitmen zero new stunting di tahun 2023
Penulis: Willem Jonata
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Willem Jonata
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Penanganan stunting di masa pandemi seperti saat ini menghadapi tantangan baru, yaitu bagaimana di tengah kesibukan pemerintah mengatasi pandemi, program-program pencegahan stunting harus tetap diprioritaskan.
Bila tidak, kebutuhan nutrisi dan perkembangan anak-anak Indonesia jelas terdampak dan pemerintah telah menargetkan penurunan stunting menjadi 14% pada 2024.
Stunting adalah gangguan tumbuh kembang anak yang disebabkan kekurangan asupan gizi, terserang infeksi, maupun stimulasi yang tak memadai.
Kepala Dinas Kesehatan Jawa Barat dr. R. Nina Susana Dewi Sp. PK (K)., Mkes. MMRS mengatakan, stunting merupakan salah satu indikator prioritas dalam SDGs dimana target tahun 2030 adalah bebas malnutrisi.
"Melalui penanggulangan stunting maka indeks pembangunan manusia akan meningkat,” jelas Nina dalam webinar Aksi Bersama Dalam Upaya Pencegahan Stunting untuk Mencapai Target 14% pada 2024 kemarin.
Indeks pembangunan manusia merupakan salah satu program Bank Dunia yang didesain untuk menjelaskan bagaimana kondisi kesehatan dan pendidikan dapat mendukung produktivitas generasi yang akan datang.
Ketua TP PKK Provinsi Jawa Barat, Atalia Praratya Ridwan Kamil mengatakan, berbicara tentang kesehatan, tingginya gizi buruk dan stunting masih menjadi permasalahan di bidang kesehatan.
"Penanganan stunting perlu dipersiapkan lebih matang karena kaitannya menjadi masa depan generasi bangsa.
Baca juga: Tahun Lalu, 156.549 Balita di Jawa Tengah Mengalami Stunting
Apalagi saat ini saya sebagai penggerak PPK di masyarakat tidak ada lagi posyandu dikarenakan khawatir terjadinya penularan virus corona, ada beberapa posyandu belum tutup yaitu posyandu keliling walaupun tidak optimal karena kondisi PPKM darurat Jawa-Bali," katanya.
Atalia juga menekankan pentingnya edukasi kepada masyarakat betapa pentingnya penurunan angka stunting ini.
Pekerjaan rumah yang harus diselesaikan adalah mencapai target jumlah kasus stunting sebesar 14 % di tahun 2024, termasuk juga harus berkomitmen zero new stunting di tahun 2023.
Sebagai seorang yang bergerak langsung dengan masyarakat, khususnya bahwa masih banyak anak stunting disembunyikan, ada stigma di masyarakat bahwa stunting hanya berlaku di masyarakat yang ekonominya rendah atau di pedesaan saja,
Bagaimana sosialisasi dan edukasi bisa disampaikan juga mengenai tingginya usia pernikahan anak, 26% dibawah 18 tahun 40% pernikahan beresiko melahirkan anak stunting, edukasi ini termasuk pola asuh, pola makan, dan sanitasi PR bagi kita semua harus dilakukan secara kolaboratif,
Dr. drg. Marion Siagian, M.Epid selaku Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat menyampaikan bahwa Angka prevalensi stunting di Jawa Barat berdasarkan Survei status gizi dan balita tahun 2019 sebesar 26,2% dan ini masih tinggi.
Lokus Provinsi Jawa Barat sebanyak 23 kab/kota untuk terus kita benahi agar bisa mencapai target nasional 14% dan untuk target Jawa Barat sebesar 19%.
"Stunting ini disebabkan oleh faktor multidimensi sehingga penanganannya perlu dilakukan oleh multisektor selain itu diantaranya dipengaruhi oleh praktek pengasuhan yang kurang baik, terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan Ante Natal Care (ANC) dan pembelajaran dini yang berkualitas, kurangnya akses ke makanan yang bergizi dan kurangnya kases air bersih dan sanitasi yang layak," katanya.
Strategi Jabar Zero Stunting melakukan satu “Gerakan Masif” untuk mewujudkan prevalensi stunting pada tahun 2023 menjadi lebih kecil dari standar WHO (Stunting < 20%).
Diantaranya kita sudah memiliki Pergub 107 tahun 2020 tentang penurunan stunting di Daerah Provinsi Jawa Barat selain itu ada juga kesepakatan bersama Pemprov Jabar dengan beberapa perusahan dalam rangka meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup di Jawa Barat melalui pencegahan stunting dan malnutrisi
Damayanti R. Sjarif, Ketua Pokja Antropometri Kementerian Kesehatan dan Dokter Spesialis Anak Konsultan Nutrisi & Penyakit Metabolik RSCM menyamakan persepsi dulu tentang definisi stunting.
“Menurut WHO 2020, kondisi stunting adalah ketika panjang atau tinggi badan anak berada dibawah 2 simpang baku yang diklasifikasikan sebagai stunted dalam grafik WHO 2006, yang disebabkan oleh kekurangan gizi kronik.
Baca juga: Panglima TNI Yakin Kecamatan Taman Sari Jakarta Barat Jadi Zona Hijau Setelah Warganya Divaksin
Kekurangan gizi kronik dapat merupakan akibat asupan nutrisi yang tidak memadai, misalnya karena kemiskinan, penelantaran atau ketidaktahuan, dan peningkatan kebutuhan gizi yang tidak terpenuhi akibat sering sakit misalnya diare kronik akibat sanitasi buruk.
ISPA berulang akibat tidak diimunisasi, atau kondisi/penyakit tertentu yang memerlukan diet khusus misalnya bayi yang sangat prematur, alergi makanan, kelainan metabolisme bawaan, penyakit jantung bawaan, dan lainnya,” katanya.
“Tatalaksana stunting tentu saja disesuaikan dengan penyebabnya.
Sebenarnya perawakan pendek merupakan pertanda terjadinya masalah kekurangan gizi kronik yang lebih besar yaitu menurunnya kemampuan kognitif serta meningkatnya risiko Penyakit Tidak Menular (obesitas, diabetes, penyakit jantung koroner, hipertensi dll) di usia dewasa," katanya.
Kedua hal ini yang menentukan kualitas SDM suatu bangsa.

Pelbagai penelitian menunjukkan bahwa stunting dapat menurunkan IQ sampai 20 poin, penurunan kecerdasan ini masih mungkin dikoreksi sebelum usia 2 tahun, dibuktikan oleh beberapa penelitian bahwa kombinasi perbaikan asupan nutrisi yang disertai stimulasi dapat mengoreksi IQ yang sudah terlanjur turun sekitar 90%.
"Tetapi jika pada usia 2 tahun tinggi badan masih dibawah -2 simpang baku maka akan sulit mengejar ketinggalan tersebut bahkan jika masih berada dibawah -3 simpang baku berisiko memerlukan pendidikan khusus. WHO menegaskan bahwa stunting sulit ditatalaksana tetapi pencegahan sangat dapat diupayakan,” kata Damayanti.
Vice President General Secretary Danone Indonesia Vera Galuh Sugijanto mengatakan untuk mencapai target penurunan stunting tersebut tidak bisa sendiri, namun dibutuhkan kolaborasi multipihak.
Yang paling penting adalah edukasi, karena kita butuh edukasi untuk merubah mindset, pola pikir dan juga gaya hidup masyarakat Indonesia. Melalui kampanye ‘Bersama Cegah Stunting’, kami mengintegrasikan berbagai program intervensi gizi spesifik dan sensitif pencegahan stunting Danone Indonesia untuk dapat diimplementasikan secara bersamaan,” jelas Vera Galuh Sugijanto.