Miliki Potensi Jadi Obat Covid-19, Indonesia Berencana Uji Klinis Molnupiravir
Pil antivirus Molnupiravir diklaim mampu mencegah kematian akibat Covid-19 hingga 50 persen.
Penulis: Rina Ayu Panca Rini
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin angkat bicara terkait obat Molnupiravir.
Ia menuturkan, Kementerian kesehatan terus bekerja sama dengan BPOM dan berbagai rumah sakit vertikal untuk melakukan review dan uji klinis semua obat-obatan yang berpotensi dalam penanganan Covid-19 di tanah air.
Baik yang bersifat monoclonal antibodies (protein buatan yang meniru kemampuan sistem kekebalan tubuh untuk melawan patogen berbahaya) seperti obat-obatan besutan produsen ely lili, renegeron maupun celltrion.
Serta juga obat-obatan yang bersifat antivirus seperti Molnupiravir buatan perusahaan Amerika Serikat Merck
"Jadi obat-obatan tersebut sudah kita approach pabrikannya," ujar Budi dalam konferensi pers virtual Perpanjangan PPKM, Senin (4/10/2021).
Baca juga: Molnupiravir, Obat Asal AS yang Diklaim Cegah Kematian Akibat Covid-19, Inii Fakta-faktanya
Budi melanjutkan Indonesia juga merencanakan untuk memulai uji klinis dari sejumlah obat-obat itu.
"Diharapkan di akhir tahun ini kita sudah bisa mengetahui obat-obat mana kira-kira cocok untuk kondisi masyarakat kita," imbuh mantan dirut Bank Mandiri ini.
Mengenal Molnupiravir
Sebelumnya, Pil antivirus Molnupiravir diklaim mampu mencegah kematian akibat Covid-19 hingga 50 persen.
Temuan ini pertama diumumkan pada Jumat (1/10). Obat antiviral ini dikembangkan oleh perusahaan Merck dan Ridgeback, Amerika Serikat.
Dari hasil penelitian interim menunjukkan penurunan sebesar 50 persen angka perawatan di rumah sakit serta juga mencegah kematian akibat Covid-19, pada pasien derajat ringan dan sedang.
Datanya menunjukkan 7.3 persen pasien (28 orang) yang mendapat molnupiravir (385 orang) dirawat di rumah sakit sampai hari ke 29 penelitian.
Sementara itu, pada mereka yang tidak mendapat Molnupiravir, artinya dapat plasebo saja (377 orang) ada 53 orang (14.1 persen) yang harus masuk RS, jadi sekitar dua kali lipat lebih banyak.
Selain data masuk Rumah Sakit pada mereka yang tidak dapat Molnupiravir ada 8 orang yang meninggal, sementara yang dari yang mendapat molnupiravir memang tidak ada yang meninggal sampai hari ke 29 penelitian ini dilakukan.
Sample penelitiannya adalah Covid-19 ringan dan sedang, dengan onset gejala paling lama 5 hari (tadinya pernah di rancang utk 7 hari lalu diturunkan menjadi 5 hari)
Data juga menunjukan 40 persen sampelnya, memiliki efikasi yang konsisten pada berbagai varian yang ditemukan, yaitu Gamma, Delta, dan Mu.
Secara umum efek samping adalah seimbang antara yang mendapat Molnupiravir dan Plasebo, yaitu 35 persen dan 40 persen.
Sampel penelitian ini mempunyai setidaknya satu faktor risiko, atau yang biasa dikenal dengan Komorbid (seperti obesitas, diabetes mellitus, penyakit jantung dan juga usia tua (>60 tahun).
Hasil interim uji klinik fase 3 ini kabarnya akan diproses untuk kemungkinan izin edar dalam bentuk Emergency Use of Authorization (EUA) ke BPOM Amerika Serikat (US-FDA), yang tentu nanti akan menilai semua data dan kelayakan.
Perlu diketahui juga, pada bulan April 2021 uji klinik obat Molnupiravir ini pada pasien yang dirawat di rumah sakit dihentikan, karena tidak menunjukkan hasil yang baik pada pasien yang sudah masuk Rumah Sakit.
Sehingga waktu itu diputuskan penelitian diteruskan hanya pada mereka yang belum masuk rumah sakit, yang hasilnya baru diumumkan 1 Oktober ini.