Virus Langya Diidentifikasi di China, Berbahaya atau Tidak? Ini Penjelasan Para Ilmuwan
Sebuah virus hewan baru yang dapat menginfeksi manusia telah diidentifikasi di China timur. Berbahayakah virus yang kemudian dinamakan virus Langya?
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Anita K Wardhani
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, MARYLAND - Sebuah virus hewan baru yang dapat menginfeksi manusia telah diidentifikasi di China timur. Berbahayakah virus yang kemudian dinamakan virus Langya ini?
Dikutip dari laman nature.com, Jumat (19/8/2022), virus bernama Langya Henipavirus (LayV), dapat menyebabkan gejala pernafasan seperti demam, batuk dan kelelahan.
Baca juga: Muncul di Tiongkok, Ini Lima Fakta Soal Penyakit Virus Langya
Virus ini juga terkait erat dengan dua virus henipa lainnya yang diketahui turut menginfeksi orang yakni virus Hendra dan virus Nipah yang menyebabkan infeksi pernafasan dan bisa berakibat fatal.
Para peneliti berpikir LayV dibawa oleh tikus yang mungkin telah menginfeksi orang secara langsung atau melalui hewan perantara.
Virus itu dijelaskan dalam New England Journal of Medicine pada 4 Agustus lalu.
Para peneliti mengatakan LayV telah menginfeksi 35 orang sejak 2018, dan tidak ada kasus yang tampaknya terkait.
Namun para ilmuwan mengatakan bahwa mereka saat ini tidak terlalu khawatir, karena virus itu tampaknya tidak menyebar secara mudah diantara orang-orang dan tidak fatal.
"Tidak perlu mengkhawatirkan hal ini, namun pengawasan berkelanjutan sangat penting," kata Ahli Virologi Evolusioner di University of Sydney di Australia, Edward Holmes.
Baca juga: Kenali Gejala TBC pada Anak, Jangan Sepelekan Batuk Lebih Dari 2 Minggu dan Demam Berulang
Ia menjelaskan bahwa penting untuk melakukan pengujian secara teratur pada manusia dan hewan terkait virus ini.
"Hal ini untuk memahami risiko penyakit zoonosis yang dapat ditularkan dari hewan lain ke manusia," jelas Holmes.
Sementara itu, Ahli Epidemiologi Penyakit Menular di Universitas Johns Hopkins di Baltimore, Maryland, Emily Gurley mengatakan wabah besar penyakit menular biasanya meluas setelah banyak prediksi awal yang salah.
"Jika kita secara aktif meneliti penyakit itu, maka kita berada dalam posisi yang jauh lebih baik untuk bisa menghentikan atau menemukan sesuatu lebih awal," papar Gurley.
Pengawasan rumah sakit
Tim peneliti yang mengidentifikasi LayV melakukan pemantauan pada pasien di 3 rumah sakit di provinsi Shandong dan Henan, China timur, pada periode April 2018 hingga Agustus 2021.
Peserta dimasukkan ke dalam penelitian jika mereka mengalami demam.
Tim pun mengurutkan genom LayV dari swab tenggorokan yang diambil pada pasien pertama yang diidentifikasi dengan penyakit tersebut, yakni seorang wanita berusia 53 tahun.
"Virus itu dinamai sama dengan sebuah kota tempat asalnya di Shandong, yakni Langya," kata rekan penulis sekaligus seorang Ahli Virologi di Duke–National University of Singapore Medical School di Singapura, Linfa Wang.
Selama masa penelitian, para peneliti menemukan 35 orang yang terinfeksi LayV, sebagian besar merupakan petani, dengan gejala mulai dari pneumonia berat hingga batuk.
Sebagian besar pasien mengatakan dalam kuesioner bahwa mereka telah terpapar binatang dalam waktu satu bulan setelah munculnya gejala.
Baca juga: Muncul Virus Langya di China, Pakar Epidemiologi Ingatkan Untuk Waspada
Genom LayV menunjukkan bahwa virus tersebut paling dekat hubungannya dengan Mojiang henipavirus, yang pertama kali diisolasi pada tikus di sebuah tambang yang ditinggalkan di provinsi Yunnan, China selatan pada 2012.
Henipavirus termasuk dalam keluarga virus Paramyxoviridae, yang meliputi campak dan gondok.
Banyak virus pernafasan yang menginfeksi manusia, beberapa henipavirus lain telah ditemukan pada kelelawar, tikus dan mencit dari Australia hingga Korea Selatan dan China, namun hanya Hendra, Nipah dan LayV yang diketahui menginfeksi manusia.
Para peneliti tidak menemukan bukti kuat terkait penyebaran LayV diantara orang-orang dan tidak ada kelompok kasus pada keluarga yang sama dalam rentang waktu yang singkat atau jarak geografis yang dekat.
"Dari 35 kasus, tidak ada satu pun yang terkait," kata Wang.
Asal hewan
Untuk menentukan asal hewan yang potensial memiliki virus itu, para peneliti melakukan pengujian pada kambing, anjing, babi dan sapi yang tinggal di desa-desa pasien yang terinfeksi untuk antibodi terhadap LayV.
Tidak hanya itu, mereka juga mengambil sampel jaringan serta urine dari 25 spesies hewan kecil liar untuk mencari keberadaan virus tersebut.
Para peneliti kemudian menemukan antibodi LayV pada beberapa kambing dan anjing, dan mengidentifikasi RNA virus LayV pada 27 persen dari 262 sampel tikus.
Ini menunjukkan bahwa tikus adalah reservoir untuk virus, menularkan LayV diantara hewan itu sendiri dan entah bagaimana mampun menginfeksi orang secara kebetulan," jelas Gurley.
Kendati demikian, tidak jelas bagaimana orang bisa terinfeksi di tempat pertama, 'apakah langsung dari tikus atau hewan perantara'.
"Banyak penelitian yang perlu dilakukan untuk mengetahui bagaimana virus menyebar pada tikus dan bagaimana bisa orang terinfeksi," papar Gurley.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.