Sosiolog UNS: DPR Harus Memprioritaskan RUU Perampasan Aset Dibanding RUU Kesehatan
Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan dapat memangkas hak-hak konstitusional para pelaku usaha tembakau sampai para konsumen produk tembakau.
Penulis: Fahdi Fahlevi
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS), Aris Arif Mundayat, menjelaskan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan dapat memangkas hak-hak konstitusional para pelaku usaha tembakau sampai para konsumen produk tembakau.
Hal tersebut diungkapkan oleh Aris menanggapi muatan RUU Kesehatan yang mengelompokkan produk tembakau dengan narkotika dan psikotropika sebagai zat adiktif.
Para pelaku Industri Hasil Tembakau, menurut Aris, dapat menghadapi konsekuensi hukum yang serius jika RUU ini disahkan dengan memuat pasal-pasal terkait hal tersebut.
“Konsumen dan produk tembakau bisa tidak terlindungi secara konstitusional. Bahkan petani tembakau dapat kehilangan komoditas tembakau jika dipersepsikan sama dengan narkoba oleh aparat hukum. Perlindungan konstitusional mestinya harus jelas dan tegas agar tidak ada yang dirugikan," ujar Aris melalui keterangan tertulis, Jumat (14/4/2023).
Merujuk draf RUU Kesehatan, pasal 154 ayat 3 berbunyi zat adiktif dapat berupa a. narkotika; b. psikotropika; c. minuman beralkohol; d. hasil tembakau; dan e. hasil pengolahan zat adiktif lainnya.
Aris berpendapat agar RUU Kesehatan ini seharusnya dapat memberikan perlindungan konstitusional kepada ekosistem industri hasil tembakau.
Termasuk juga soal aspek pengendalian tembakau untuk tidak dikonsumsi oleh anak di bawah umur 18 tahun.
"Akibatnya bisa buruk terhadap petani tembakau. RUU ini harusnya dapat memberikan perlindungan konstitusional terhadap perokok dewasa serta anak di bawah umur," kata Aris.
Dirinya mengatakan DPR harusnya lebih memprioritaskan regulasi krusial lainnya yang sedang dibahas, misalnya RUU Perampasan Aset Koruptor.
Baca juga: Risiko Hukum di RUU Kesehatan Khawatir Hilangkan Penghasilan Petani dan Pekerja Olahan Tembakau
Selain soal faedah yang lebih besar, ini juga untuk memangkas kapitalisme politik dari demokrasi nasional.
“Menurut saya UU perampasan aset koruptor yang semestinya untuk didahulukan mengingat indeks persepsi korupsi Indonesia salah satu yang terburuk. Dari 180 negara, Indonesia merupakan peringkat 110 negara paling korup di dunia pada 2022,” pungkas Aris.