Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Kesehatan

Jangan Asal Self Diagnosis, Ini yang Dilakukan Jika Merasa Alami Gangguan  Mental

Kesadaran terhadap isu kesehatan mental mulai meningkat. Ii sisi lain muncul inisiatif self diagnosis untuk menyimpulkannya. Itu tak dibenarkan.

Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Willem Jonata
zoom-in Jangan Asal Self Diagnosis, Ini yang Dilakukan Jika Merasa Alami Gangguan  Mental
promisesbehavioralhealth.com
ilustrasi. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tingkat kepedulian masyarakat kita terhadap isu kesehatan mental beberapa tahun terakhir mulai mulai meningkat.

Sayangnya, di sisi lain muncul self-diagnosis atau masyarakat yang mengaku-ngaku dirinya mengidap gejala gangguan psikologi tertentu.

Misalnya, mencari artikel di search engine terkait gangguan kesehatan mental, kemudian mencocokkan dengan diri sendiri.

Terkait hal ini, Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (psikiater) dr Santi Yuliani, M.Sc.Sp.KJ ingatkan untuk jangan asal self-diagnosis.

"Kembali lagi tidak ada mesin yang bisa menggantikan pemeriksaan dokter secara langsung. Pemeriksaan dokter itu bukan hanya mencocokan gejala dengan diagnosis," ungkapnya pada talkshow virtual, Jumat (16/6/2023).

Sebagai contoh, dua orang yang alami depresi datang ke psikolog yang sama.

Baca juga: Mengenal Skizofrenia, Gangguan Mental yang Pengaruhi Emosi, Komunikasi, dan Perilaku

Berita Rekomendasi

Namun, meski sama-sama didiagnosis depresi oleh psikolog, penanganannya bisa saja berbeda.

Hal ini dikarenakan profil dan lingkungan masing-masing orang berbeda.

"Apakah ada penyakit dari keluarga yang melatarbelakangi, apakah ada riwayat trauma atau tidak, bagaimana pekerjaanmu. Lalu bagaimana support sistem, pola hidup, ini sangat menentukan jenis terapi apa yang bisa diberikan," paparnya.

Sehingga bisa saja obat dan terapi yang diberikan berbeda meski diagnosisnya sama.

Seorang yang bekerja di bidang administrasi, tentu berbeda dengan mereka yang bekerja di bidang marketing.

"Ini akan berbeda statment yang digunakan terapi pun berbeda. Yang satu punya sakit maag disertai dengan cemas, yang satu punya vertigo dengan cemas, obatnya pun berbeda," tegas Santi.

Dan hal ini, kata Santi tidak bisa dilakukan hanya lewat search engine semata.

Belum lagi dibutuhkan pemeriksaan penunjang.

Di antaranya seperti laboratorium, pemeriksaan gelombang otak, dan tindakan lain untuk mendukung diagnosis.

"Diagnosis bukan sekadar ini, sakitnya ini. bukan cocokin kayak bikin puzzle," pungkasnya. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas