Pusat Karantina Untuk Pasien TBC Bisa Munculkan Stigma dan Diskriminasi Pada Pasien
Pemerintah berencana akan mendirikan pusat karantina untuk pasien tuberkolosis (TB).
Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Anita K Wardhani
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah berencana akan mendirikan pusat karantina untuk pasien tuberkolosis (TB).
Pusat karantina ini dibangun bagi pasien tuberkulosis (TBC) dengan tujuan memutus rantai penularan penyakit kepada orang sekitar.
Mengisolasi pasien di sanotarium akan menimbulkan sosial eksklusif dan diskirminasi.
Menurut Peneliti Keamanan dan Ketahanan Kesehatan Global Dicky Budiman pendirian sanotarium atau pusat karantina untuk pasien TBC bisa menimbulkan stigma pada pasien.
Baca juga: Pemerintah Rencanakan Pusat Karantina untuk TBC, Pakar: Ini Jadi Satu Kemunduran
"Sanotarium bisa menimbulkan stigma pada pasien TBC. Saya sangat menentang itu," ungkapnya pada Tribunnews, Kamis (3/8/2023).
Menurutnya mengisolasi pasien di sanotarium akan menimbulkan sosial eksklusif dan diskirminasi.
Dan ini akhirnya bisa berdampak pada kualitas kesehatan mental pasien.
Di sisi lain menurutnya sanotarium bukan berarti aman karena ada potensi risiko penyebaran TBC antar pasien.
Baca juga: Penderita TBC di Indonesia Didominasi Kelompok Usia Produktif
"Meski ada isolasi, penyakit TBC bisa menyebar antar pasien dalam sanotarium itu. Terutama penykit TBC yang resisten," paparnya.
Tuberkulosis Resiten Obat adalah infeksi Tuberkulosis yang menyerang tubuh, disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis yang kebal obat akibat dari pengobatan tidak benar.
Dan ini kata Dicky bisa mengakibatkan bentuk lebih berat serius dari penyakit TBC.
"Jangan anggap menyelesaikan. Tidak sama sekali. Hati-hati, pemerintah ambil keputusan harus dilihat dan belajar dari pengalaman, rujuk pada ahli dan keilmuan terkini," tutupnya.