Pengurangan Risiko Tembakau Perlu Dilakukan Mengingat Tingginya Angka Perokok di Indonesia
Faktanya, pertumbuhan prevalensi merokok naik dari 27% pada tahun 1995 telah menjadi 36,3% pada tahun 2018.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peran krusial dalam meningkatkan kualitas kesehatan publik juga diemban berbagai organisasi Islam di Indonesia, dengan menyebarluaskan informasi yang akurat mengenai pengurangan risiko tembakau.
Satu di antaranya termasuk melalui pemanfaatan produk tembakau alternatif.
Demikian hal ini disampaikan oleh Rumadi Ahmad, Dosen Syarif Hidayatullah Jakarta dan Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 2015-2021 dalam Konferensi Afrika II tentang Pengurangan Risiko Kesehatan-Kesehatan Global Afrika, beberapa waktu lalu.
Menurut Rumadi, pengurangan risiko tembakau dengan memanfaatkan produk tembakau alternatif perlu dapat digunakan sebagai alternatif mengingat tingginya angka perokok di Indonesia.
“Kami akan terus menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai pengurangan risiko lingkungan dan tembakau, serta isu-isu strategis nasional lainnya melalui jaringan NU yang luas untuk memastikan implementasi kebijakan, mulai dari tingkat akar rumput,” papar Rumadi, seperti dikutip Kontan, Rabu (1/11/2023).
Faktanya, pertumbuhan prevalensi merokok naik dari 27 persen pada tahun 1995 telah menjadi 36,3% pada tahun 2018.
Kondisi tersebut, menurutnya, menjadi tantangan serius bagi pemerintah untuk menghadapi penyakit yang berkaitan dengan kebiasaan merokok.
“Adanya potensi (pemanfaatan) produk tembakau alternatif yang inovatif dan (profil) risikonya yang lebih rendah memotivasi kami untuk menyederhanakan pendekatan dalam pengurangan risiko tembakau. Pemerintah perlu memaksimalkan manfaatnya demi kesehatan masyarakat yang lebih baik,” jelas Rumadi.
“Prioritas kami adalah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pro dan kontra dengan mengandalkan bukti ilmiah dan empiris. Hal ini untuk memastikan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab sehingga meminimalkan potensi dalam berbagai aspek dan menerapkan pendekatan produk tembakau alternatif supaya relevan,” kata Rumadi.
Sementara dalam forum yang sama, Wakil Direktur AOI University Hospital Jepang, Dr. Hiroya Kumamaru, juga menyampaikan bahwa pendekatan berhenti merokok secara total ternyata sulit dilakukan bagi perokok dewasa di Jepang.
Maka itu, pemanfaatan produk tembakau alternatif, seperi produk tembakau yang dipanaskan ternyata dapat membantu perokok dewasa beralih dari kebiasaan merokok di negara tersebut.
“Mengobati penyakit yang berkaitan dengan merokok membutuhkan biaya sekitar 4,3 triliun yen. Pengeluarannya hampir dua kali lipat pendapatan pajak, yaitu 2,8 triliun yen per tahun,” jelas Dr. Hiroya.
Sumber: KONTAN