IMERI-FKUI Dorong Peran Akademisi untuk Optimalkan Perumusan Regulasi Masalah Kesehatan
Keterlibatan akademisi saat ini dalam perumusan suatu regulasi belum dimaksimalkan oleh para pembuat kebijakan.
Penulis: Rina Ayu Panca Rini
Editor: Anita K Wardhani
Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA -- Health Policy Analysis Coordinator Evidence-Based Health Policy Center IMERI-FKUI, dr. Ahmad Fuady, MSc, Phd, menjelaskan keterlibatan akademisi saat ini dalam perumusan suatu regulasi belum dimaksimalkan oleh para pembuat kebijakan.
Hal ini terlihat pada tingkat partisipasi akademisi dalam perumusan kebijakan, baik di level undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, peraturan kepala daerah, hingga dinas kesehatan kota/kabupaten.
Baca juga: RSV Penyakit Pernapasan yang Ancam Kesehatan Lansia, Mudah Menular saat Musim Hujan
“Contoh di undang-undang, tidak bisa terapkan 100 persen akademisi terlibat dan berikan kontribusi kontekstual. Tapi kalau bicara di daerah, itu level keterlibatan akademisi sangat tinggi,” ujar Ahmad dalam Guest Lecture "Challenge in the Use of Evidence to Inform Policy" yang diselenggarakan Universitas Indonesia, beberapa waktu lalu.
Keterlibatan akademisi diharapkan dapat dimaksimalkan oleh para pembuat kebijakan.
Akademisi bisa berpartisipasi aktif dalam melakukan kajian ilmiah yang hasilnya nanti dapat dijadikan acuan bagi pemerintah dalam menyusun regulasi untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan di Indonesia, termasuk prevalensi merokok.
Untuk level undang-undang keterlibatan akademisi sebesar 30 persen sudah cukup besar.
Biasanya, peran akademisi baru dilibatkan ketika produk hukum tersebut selangkah lagi disahkan.
Baca juga: Batara Sirait Raih Gelar Doktor Ilmu Kedokteran FK UI
"Perlu ada proses keterlibatan yang bermakna, bukan sekedar diundang sosialisasi sementara minggu depan sudah mau diketuk baru ditanya, ada masukan apa dalam waktu singkat,” tegasnya.
Ada beberapa syarat pelibatan bermakna agar akademisi terlibat aktif dalam perumusan suatu kebijakan.
Pertama, sikap saling menghormati antara pembuat kebijakan dan akademisi.
Kedua, bermartabat. Hal ini untuk menunjukkan adanya kesetaraan di antara kedua belah pihak. Ketiga, inklusivitas.
“Inklusif ini masih jarang, misal menulis aturan tentang kanker, kita undang orang yang mengalami penyakit tersebut dan minta pendapatnya,” ucapnya.