Rokok Jadi Faktor Risiko Kanker Paru, Penderita Kerap Terlambat Berobat
Saat ini satu dari 10 anak usia 10-18 tahun adalah perokok aktif saat ini di dunia termasuk Indonesia
Penulis: Choirul Arifin
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews, Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Kesehatan RI terus-menerus memperingatkan bahaya dan risiko merokok yang bisa memicu banyak penyakit tidak menular. Salah satu penyakit yang sangat rawan muncul dari kebiasaan merokok adalah kanker paru.
Saat ini rokok menjadi faktor risiko terjadinya kanker paru. Satu dari 10 anak usia 10-18 tahun adalah perokok aktif saat ini di dunia termasuk Indonesia.
"Angka ini terbilang tinggi dan menimbulkan keprihatinan kita. Maka itu kita terus mengedukasi kepada anak usia muda tentang risiko merokok dan kanker paru," ungkap Prof. Dr. Elisna Syahruddin, Sp.P(K), Ph.D., Executive Director di Indonesian Association for the Study on Thoracic Oncology (IASTO) di acara talkshow edukatif berjudul “Lung of the Future: Young Health Program Drives Lung Cancer Screening” dalam rangka Bulan Kesadaran Kanker Paru Sedunia yang diselenggarakan AstraZeneca bersama Kementerian Kesehatan RI di Jakarta, Selasa 1 November 2023.
Prof Elisna menegaskan, meski sudah ada peraturan rokok hanya boleh dibeli oleh usia 18 tahun lebih, tapi gaya hidup merokok belum bisa hilang. "Kami percaya setiap anak berhak mndapatkan informasi yang ramah anak. Kita ingin mencegah agar kebiasaaan merokok sebagai penyakit tidak menular tidak diderita anak-anak," tegasnya.
Baca juga: Kakek 52 Tahun Asal Malang Viral, Kuat Main PS 9 Jam di Warnet Sambil Merokok dan Seruput Kopi
Prof Elisna Syahrudin menambahkan, kanker paru saat ini menjadi pembunuh nomor 2 di dunia dan pembunuh nomor 1 untuk semua jenis penyakit kanker di Indonesia.
Pada umumnya penderita kanker paru terlambat berobat karena baru terdiagnosa ketika sudah stadium 3. "Kanker paru adalah pembunuh utama dari semua jenis penyakit kanker. Karena sudah stadium lanjut, kita sulit untuk menyembuhkan lagi," bebernya.
Menurutnya, kebiasaan merokok secara chemical menyebabkan kanker dan merupakan perbuatan yang disengaja untuk menyakiti diri sendiri.
Dia juga mengingatkan, semakin meningkat usia seseorang, risiko terkena kanker semakin meningkat. "Di Indonesia jumlah perokok didominasi laki-laki, sementara perokok perempuan lebih kecil. Dengan dikenalinya faktor faktor risiko tadi, kita bisa lakukan upaya pencegahan," imbuh Prof Elisna.
Kanker paru memerlukan waktu lama untuk menunjukkan gejala, sehingga pasien sering datang ke spesialis paru pada stadium lanjut.
Namun, dengan beberapa metode, kanker paru dapat dideteksi pada stadium awal, memungkinkan tindakan yang dapat menghentikan perkembangan penyakit.
"Kanker itu prosesnya lama, ada tahapan tahapan dari sebuah sel normal untuk menjadi kanker hingga bisa terdeteksi secara klinis," kata dia.
Dia menambahkan, kanker paru adalah penyakit tidak menular, tetapi sangat serius karena dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup dan kematian. Pembentukan jaringan atau tumor ganas di paru mengganggeu fungsi paru dan dapat menyebar ke organ lain, terutama otak dan tulang.
Ada beberapa faktor risiko yang berhubungan langsung dengan kanker paru yang dapat diatasi untuk mencegahnya.
Faktor risiko ini termasuk polusi udara yang disengaja, seperti asap rokok yang dihasilkan oleh perokok. Selain itu, polusi udara yang tidak disengaja, seperti perokok pasif atau paparan polusi tinggi di tempat kerja atau daerah tinggal, juga berperan.
“Mendeteksi kanker paru-paru secara dini sangat penting, karena gejala sering muncul ketika penyakit sudah dalam stadium lanjut. Gejala ini meliputi batuk yang persisten, nyeri dada, dan kesulitan bernapas yang tidak membaik dengan pengobatan," ungkapnya.
"Meskipun kanker paru adalah kondisi serius, kemajuan dalam perawatan medis memberikan harapan, dan berhenti merokok serta meminimalkan paparan risiko sangat penting untuk pencegahan,” ujar Elisna.
Ketua Tim Kerja Penyakit Kanker dan Kelainan Darah, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, dr.Theresia Sandra D. Ratih, MHA mengatakan dari 4 penyakit kanker yang saat ini bisa dicover oleh BPJS Kesehatan, yakni kanker payudara, kanker leher rahim, kanker paru dan colorecta.
Dia menekan, membawa keluarga untuk menjalani screening penting. "Kanker paru setelah diderita 6 bulan biasanya sudah masuk stadium 4," ujar dr Theresia.
"Umumnya penderita kanker paru enggan diskrining karena takut ketahuan penyakit yang deritanya dengan mitos takut cepat meninggalnya jika penyakitnya sudah ketahuan. Ini jadi lelucon kami di lapangan padahal jika lebih cepat diskrining jadi lebih cepat ditangani," imbuhnya.
Karena itu, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diharapkan tidak hanya dalam pengobatan kanker paru-paru saja, namun juga pembiayaan skrining untuk deteksi dini juga ditanggung oleh pemerintah.
Hal ini sesuai dengan mekanisme pembiayaan kapitasi yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2023, tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program JKN.
Sasaran skrining ditujukan bagi usia 45-71 tahun dengan kriteria perokok aktif atau pasif atau berhenti merokok kurang dari 15 tahun. Lalu memiliki riwayat kanker paru pada keluarga yakni, ayah, ibu, dan saudara kandung. Serta dengan atau tanpa disertakan dengan gejala respiratori ringan.
"Puskesmas melakukan deteksi dini lewat analisa mendalam untuk melihat kemungkinan risiko tinggi. Jadi ketika ke dokter pasien akan ditanya untuk skrining dan dilakukan diagnosis lebih mendalam untuk melihat apakah pasien masuk dalam risiko rendah, sedang atau tinggi, " ungkap dr Sandra.
Jika peserta JKN memiliki hasil skrining kanker paru resiko tinggi dari Puskesmas, mereka selanjutnya akan dirujuk ke Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) untuk konsultasi lebih lanjut dengan dokter spesialis paru atau penyakit dalam.
Mereka dapat melakukan pemeriksaan rontgen toraks Low Dose CTScan (LDCT) sebagai skrining lanjutan atau deteksi dini kanker paru.
Skrining lanjutan atau deteksi dini kanker paru ini ditanggung BPJS satu kali dalam setahun bagi peserta JKN yang memiliki hasil skrining questionair kanker paru resiko tinggi agar mendapatkan diagnosa dalam stadium awal untuk meningkatkan keberhasilan upaya pengobatan.
Awal 2023 lalu, AstraZeneca menandatangani Nota Kesepahaman dengan Kementerian Kesehatan untuk mendukung pencapaian agenda transformasi kesehatan pemerintah.
Sejak saat itu telah mendukung peluncuran dan sosialisasi program nasional skrining kanker paru serta mendidik para pemuda mengenai risiko merokok dan perokok pasif melalui AstraZeneca Young Health Programme.
AstraZeneca Young Health Programme adalah inisiatif global yang bertujuan untuk memberdayakan para pemuda agar dapat membuat pilihan informasional terkait kesehatan dan kesejahteraan mereka, dengan fokus khusus pada penyakit tidak menular.
"AstraZeneca Young Health Programme di Indonesia telah mencapai kemajuan yang luar biasa sejak 2018, mencapai hasil yang signifikan," ungkap Se Whan Chon, President Director AstraZeneca Indonesia.
Selama periode tersebut, program ini telah melatih 927 pendidik sebaya yang telah berperan penting dalam memberikan manfaat langsung bagi lebih dari 59.000 pemuda dan lebih dari 5.000 orang dewasa.
YHP disebut telah memberi dampak pada masyarakat, memberikan manfaat tidak langsung bagi lebih dari 525.000 pemuda dan lebih dari 595.000 anggota masyarakat.