Dokter: Perempuan saat Menopause Rentan Kena Gangguan Psikologis
Persiapan diri serta lingkungan penting dalam mengelola stress yang terjadi saat menopause maupun pascamenopause
Penulis: Rina Ayu Panca Rini
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Selain bisa menurunkan kualitas fisik, perempuan yang mengalami menopause rentan terganggu mentalnya.
Hal itu disampaikan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM), Dr dr Natalia Widiasih Raharjanti SpKJ(K) MPd.Ked.
Ia menjelaskan, saat masa menopause perempuan mengalami perubahan hormon yang mengakibatkan stres.
"Karena itu penting untuk perempuan bisa mengelola stres yang dialami ketika menopause," kata dia saat ditemui di kawasan Casablanca, Jakarta Selatan, Kamis (30/11/2023).
Perubahan biologis terjadi akibat perubahan hormonal yang ditandai dengan peningkatan FSH dan LH serta penurunan estrogen dan progesterone.
Kondisi ini akan memicu berbagai perubahan fisik maupun kognitif.
Baca juga: Perempuan Perlu Lakukan Persiapan Sebelum Menopause, Apa Saja?
Pada aspek kognitif, estrogen memiliki sifat neuroprotektif melalui berbagai mekanisme, seperti mengatur tumbuhnya sel saraf dan mencegah kematian sel.
Penurunan kadar estrogen akan menyebabkan penurunan pengaruh neuroprotektif sehingga terjadi kematian sel saraf di otak yang lebih sering dan lebih banyak.
Hal ini akan menimbulkan penurunan performa ingatan dan kesulitan dalam berkomunikasi.
Gangguan kognitif ini berpotensi menimbulkan distress.
Selain itu, seorang dengan menopause dapat memiliki gangguan psikologis.
Beberapa faktor yang memengaruhi kemunculan dan berat dari gangguan psikologis seperti adanya riwayat gangguan psikologis sebelumnya, status sosioekonomi, berbagai peristiwa hidup, gaya hidup merokok, dan sikap dan pandangan terhadap menopause.
Juga ada perubahan sosial yang terjadi pada orang dengan menopause, seperti munculnya fenomena empty nest syndrome, yaitu anak yang sudah tidak tinggal bersama orang tua, stabilitas finansial dan pekerjaan, tingkat pendidikan, tingkat kemandirian dan keinginan untuk mandiri, kekerasan terhadap orang tua, perubahan gairah seksual, kesendirian dan perasaan sendiri, dan tuntutan masyarakat terhadap perempuan itu sendiri.
"Kondisi ini memicu timbulnya insecurity. Perasaan ini akan menimbulkan negative body image, yaitu perasaan negatif terhadap kondisi dirinya saat ini," tutur dia.
Seringkali masyararakat masih memberikan stigma negatif kepada perempuan menopause.
Selain itu, pasangan seringkali kurang teredukasi mengenai kondisi menopause sehingga perempuan menopause kerap kurang mendapat dukungan serta merasa tidak dimengerti oleh pasangan maupun keluarga.
Perempuan menopause juga sering memiliki kepercayaan diri rendah karena negative body image.
Kondisi ini berpotensi memicu gangguan psikologis, kasus perceraian, maupun masalah di dalam keluarga.
Persiapan diri serta lingkungan penting dalam mengelola stress yang terjadi saat menopause maupun pascamenopause.
Pertama, menerima fase menopause.
Pada tahap ini, perempuan harus yakin bahwa fase ini tidak hanya dialami seorang diri.
Karena semua perempuan pasti mengalami fase menopause.
"Kita juga perlu menyadari bahwa ada orang-orang terdekat yang mampu mendukung kita," ungkap dr. Natali.
Kedua, perlu mengenali dan menyayangi diri sendiri dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki.
Jika ingin mengubah diri, buatlah target yang dapat dicapai dan sesuai dengan kapasitas diri
Ketiga, mencari bantuan tenaga kesehatan profesional seperti psikolog maupun psikiater jika terdapat kesulitan dalam menjalani fase ini.
“Lingkungan sosial penting dalam mendukung perempuan menjalani fase menopause secara lebih menyenangkan. Couples therapy akan sangat membantu bagi pasangan-pasangan yang perlu untuk dibina dalam membangun komunikasi dan pemahaman antarpasangan agar tercipta hubungan yang harmonis dalam menjalani menopause. Penting untuk melakukan terapi pada perempuan menopause secara holistik,” kata dia.