Pakar Kritik Penanganan Stunting di Indonesia: Belum Sentuh Akar Masalah
Epidemiolog dan ahli kesehatan global Dicky Budiman mengatakan penanganan stunting di Indonesia belum menyentuh akar mula permasalahan.
Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Febri Prasetyo
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penurunan prevalensi stunting masih menjadi tantangan menjelang akhir pemerintahan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Pemerintah telah mencanangkan prevalensi stunting turun hingga 14 persen sebagai target nasional pada 2024.
Diketahui tahun lalu angka prevalensi stunting masih berada pada kisaran 21 persen.
Tentang hal ini, epidemiolog dan ahli kesehatan global Dicky Budiman mengatakan penanganan stunting di Indonesia belum menyentuh akar mula permasalahan.
"Kritik saya pada komitmen pemerintah terhadap penanganan santing ini adalah tidak komprehensif. Tidak juga memakai pendekatan akar masalah dari stunting," katanya kepada Tribunnews, Jumat, (14/6/2024).
Akar permasalahan stunting di Indonesia secara konsisten telah diketahui lewat pembuktian ilmiah.
Karena itu, untuk menyelesaikan stunting menurut Dicky bukan sekadar program kesehatan atau pemberian makan saja. Namun, perlu ada kolaborasi lintas sektor.
"Nah, ini kan harus diselesaikan, tidak bisa hanya dengan memberi program misalnya makanan dan lain sebagainya," kata Dicky.
Selama bertahun-tahun, lanjut Dicky, akar kemunculan stunting di Indonesia selalu sama.
Pertama, sejak usia 6 bulan pertama setelah kelahiran, bayi tidak diberi air susu ibu (ASI).
Baca juga: Angka Stunting di Kota Semarang Tinggal 825 Kasus, Mbak Ita Harapkan Inovasi Berkelanjutan
Banyak faktor penyebab anak pada usia 6 bulan pertama tidak mendapatkan ASI, misalnya karena masalah literasi atau ibu yang mengalami kekurangan gizi.
Kedua, terjadinya stunting berkaitan dengan rendahnya status sosial dan ekonominya keluarga.
Ketiga, kelahiran prematur. Kelahiran sebelum waktunya juga menjadi salah satu faktor kemunculan stunting.