BPA pada Kemasan Air Minum Dilarang, Uni Eropa Resmi Terapkan Akhir 2024
Uni Eropa (UE) dan BPOM RI menetapkan aturan terbaru terkait penggunaan bahan kimia ini pada kemasan makanan dan minuman.
Penulis: Matheus Elmerio Manalu
Editor: Anniza Kemala
TRIBUNNEWS.COM - Bahaya bahan kimia Bisfenol A (BPA) terus menjadi perhatian berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Hampir bersamaan, Uni Eropa (UE) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI menetapkan aturan terbaru terkait penggunaan bahan kimia ini pada kemasan makanan dan minuman.
BPOM RI mengeluarkan regulasi khusus tentang pelabelan pada kemasan galon isi ulang pada April 2024. Regulasi ini menegaskan pentingnya informasi yang jelas kepada konsumen terkait kandungan BPA dalam kemasan Air Minum dalam Kemasan (AMDK).
Sedangkan pihak UE mengumumkan kebijakan pelarangan BPA pada Juni 2024. Dalam keputusan UE tersebut, sebanyak 27 negara maju kompak melarang penggunaan BPA pada kemasan makanan dan minuman mulai akhir tahun 2024.
Baca juga: YLKI dan Pakar Farmakologi Sambut Positif Aturan Baru BPOM soal Label Bahaya BPA pada Galon Bermerek
Langkah Uni Eropa dalam memerangi bahaya BPA
Keputusan Uni Eropa untuk menetapkan pelarangan BPA pada wadah makanan dan air minum didasarkan pada penilaian ilmiah dari Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA), yang menyimpulkan bahwa BPA memiliki ‘potensi efek berbahaya pada sistem kekebalan tubuh’.
“Dengan mempertimbangkan bukti ilmiah terkini, serta untuk melindungi kesehatan warga negara dan memastikan standar keamanan pangan tertinggi, Negara-negara Anggota mendukung usulan Komisi untuk melarang BPA dalam bahan kontak makanan (FCM). Artinya, setelah periode phase-out, bahan kimia tersebut tidak lagi diizinkan untuk digunakan dalam produk-produk di UE,” demikian paparan rilis Uni Eropa bulan lalu.
Menurut EFSA, BPA yang menjadi campuran plastik kemasan atau wadah dapat bermigrasi ke makanan dan minuman, yang meskipun dalam jumlah kecil tapi diyakini dapat membahayakan kesehatan konsumen.
Karena itu, larangan BPA yang baru saja diputuskan ini akan berlaku untuk bahan yang bersentuhan langsung dengan makanan dan minuman, seperti lapisan dalam kaleng logam, serta untuk barang-barang konsumen seperti peralatan dapur, piring, botol minum plastik, dan dispenser air.
Peraturan ini akan berlaku secara resmi setelah masa pengawasan oleh Parlemen dan Dewan Eropa pada akhir tahun 2024. Perusahaan diberi waktu transisi selama 18 hingga 36 bulan untuk mematuhi larangan ini.
Komitmen UE dalam mengurangi bahaya BPA pada produk konsumen memang telah ditunjukkan sejak tahun 2011, dengan melarang penggunaan BPA dalam botol bayi dari jenis plastik keras polikarbonat.
Berlanjut pada 2016, UE juga melarang penggunaan BPA dalam kertas penerimaan termal ditambah tahun 2018, UE memberlakukan pembatasan lebih lanjut pada penggunaan BPA dalam botol dan wadah bayi dan anak-anak, cat dan pelapis.
Sebagai langkah preventif, EFSA sendiri sudah secara ekstrem mengatur syarat aman jumlah angka asupan harian yang bisa ditoleransi (total daily intake/TDI) - jumlah zat dalam makanan yang dianggap aman bagi manusia, yakni sebesar 0,2 nanogram per kilogram (ng/kg) berat badan per hari.
Toleransi terhadap BPA yang boleh masuk ke tubuh manusia juga diperketat hingga puluhan ribu kali lipat sekitar 20.000 kali dari TDI sebelumnya yang direkomendasikan sebesar 4000 nanogram atau 4 mikrogram per kilogram berat badan per hari.
Baca juga: BPOM Resmikan Aturan Pelabelan BPA pada Galon Bermerek, Pakar: Upaya untuk Lindungi Masyarakat
Belum ada ambang batas migrasi BPA di Indonesia
Regulasi yang baru saja dikeluarkan BPOM sedikit berbeda dengan peraturan UE. Pada Peraturan BPOM Nomor 6 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan, terdapat dua pasal tambahan terkait pelabelan risiko BPA pada kemasan AMDK, yaitu 48a dan 61a.
Pasal 48a mewajibkan produsen AMDK untuk mencantumkan tulisan “simpan di tempat bersih dan sejuk, hindarkan dari matahari langsung, dan benda-benda berbau tajam”.
Sedangkan Pasal 61A mengatur bahwa air minum dalam kemasan yang menggunakan kemasan plastik polikarbonat harus mencantumkan peringatan dalam label yang berbunyi “dalam kondisi tertentu, kemasan polikarbonat dapat melepaskan BPA pada air minum dalam kemasan”.
Ahli Farmakologi dari Departemen Farmasi Klinik, Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, Profesor Junaidi Khotib menyambut baik regulasi yang diresmikan BPOM baru-baru ini. Ia berharap dengan peraturan ini, masyarakat bisa menjadi lebih bijak memilih produk demi kesehatannya sendiri.
“Peraturan ini juga menjadi media yang baik dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat terkait produk yang digunakan. Masyarakat dituntut dapat memilih produk dengan bijak untuk kesehatannya sendiri,” katanya, sambil menegaskan bahwa ini adalah bukti keberpihakan pemerintah kepada masyarakat sebagai pengguna produk AMDK.
Jejak UE bisa dijadikan contoh oleh BPOM
Meski dengan regulasi pelabelan BPA yang ditetapkan dalam regulasi terbaru BPOM, ambang batas migrasi BPA dalam kemasan galon isi ulang polikarbonat sejauh ini masih merujuk pada Peraturan BPOM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan, yakni pada level 0,6 PPM.
Jika dibandingkan regulasi terbaru UE, yang benar-benar melarang penggunaan BPA pada kemasan makanan dan minuman, kebijakan BPOM yang baru saja ditetapkan terkesan lebih lunak.
Selain itu, BPOM juga memberikan grace period yang sangat lama untuk pengusaha AMDK, yakni sampai empat (4) tahun sejak regulasi diberlakukan.
Untuk diketahui, BPOM sebelumnya menyebutkan bahwa galon polikarbonat paling banyak beredar di masyarakat dengan persentase 96 persen dari total galon air minum bermerek yang beredar.
Berdasarkan data pemeriksaan BPOM pada fasilitas produksi selama 2021-2022, kadar BPA yang bermigrasi pada air minum lebih dari 0,6 ppm meningkat berturut-turut hingga 4,58 persen. Begitu pun dengan hasil pengujian migrasi BPA di ambang 0,05-0,6 ppm, meningkat berturut-turut hingga 41,56 persen.
Mengingat hal tersebut, penting bagi BPOM untuk kembali fokus dan melakukan revisi terhadap ambang batas migrasi BPA. Apalagi sudah banyak negara lain sudah bergerak lebih maju karena batas maksimum migrasi BPA sudah direvisi menjadi lebih rendah, yakni 0,05 PPM dari semula 0,6 PPM. (***Matheus***)
Baca juga: Bahaya BPA Sebabkan Risiko Kemandulan, Begini Penjelasannya!
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya
A member of
Follow our mission at sustainabilityimpactconsortium.asia