Bahaya BPA Terhadap Ibu dan Anak-Anak: Dari Kanker hingga Infertilitas
Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Fomo Apa-Apa BPA Free” yang diselenggarakan Rabu, 21 Agustus 2024 di Jakarta, menyebut bahwa BPA berbahaya saat
Penulis: Anniza Kemala
Editor: Vincentius Haru Pamungkas
TRIBUNNEWS.COM - BPA merupakan bahan kimia yang terkandung pada benda-benda yang digunakan dan bahkan dikonsumsi oleh banyak orang sehari-hari.
Prof. Ir Akhmad Zainal Abidin, Pakar polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB) menyebut, secara saintifik, BPA dapat ditemukan di mana-mana, dari udara hingga di air minum. Ia pun menjelaskan bahwa terdapat berbagai jenis bahan kemasan makanan yang mengandung senyawa kimia tersebut.
“Jadi BPA itu kalau di dalam plastik, terutama ada di dua bahan. Yang pertama adalah polikarbonat dan kedua adalah epoksi resin. Kalau yang bentuknya galon, itu polikarbonat. Ini juga dipakai untuk yang lain-lain, seperti casing untuk komputer dan televisi,” ungkap Prof. Akhmad kepada awak media, Rabu (21/08/2024).
“Kaleng-kaleng pun bisa mengandung BPA karena dilapisi epoksi resin. Selain itu ada thermal paper, yang juga mengandung BPA,” jelasnya.
Pada kegiatan Focus Group Discussion yang diselenggarakan di Jakarta, ia pun memberikan penjelasan tentang risiko paparan BPA pada kemasan plastik.
“Memang karena ada sisa, berarti ada BPA yang terperangkap di dalam kepadatan plastik. Dia bisa lepas kalau larut dalam air, bisa lepas juga ke udara, bisa juga campur ke tanah, tergantung situasi dan kondisinya. Makin mudah lepas kalau panas. Jika dingin pori-porinya menyempit, kalau panas plastiknya mengembang,” papar Prof. Ir Akhmad.
Baca juga: Bukan Sekadar Tren, Masyarakat Perlu Mengetahui Fakta Terkait BPA dan Bahayanya
Benarkah Paparan BPA Bisa Menyebabkan Kanker?
Pada kesempatan yang sama, Dr. dr. Andhika Rachman, SpPD, K-HOM - Hematologi dan Onkologi Medik (Kanker) menjelaskan tentang bahaya BPA terhadap kesehatan, khususnya bagaimana BPA dapat memicu kanker.
“BPA memang dapat menjadi benda asing yang dianggap oleh tubuh manusia sebagai radikal bebas dan menimbulkan bahaya kesehatan. Karena dia benda asing, nantinya akan ada metabolisme dan akan keluar lewat urin. Kemungkinan yang tersisa dalam tubuh berjumlah 10 persen, dan jumlah yang tersisa ini yang bisa menimbulkan masalah,” tutur Dr. Andhika.
“Dia adalah senyawa yang mirip seperti hormon estrogen, yang dapat merangsang rahim. Pada orang-orang yang rentan mengalami kanker, sedikit demi sedikit dapat menimbulkan gejala seperti polip dan kista. BPA ini, dalam jumlah kecil, dapat merangsang hormon estrogen dan kemungkinan dapat menyebabkan kanker serta infertilitas,” lanjutnya.
Dr. Andhika pun menegaskan, meski belum ada riset yang dilakukan langsung terhadap manusia, namun kemungkinan terjadinya gangguan kesehatan akibat paparan BPA tetaplah ada.
Maka itu, penting bagi masyarakat untuk mengetahui bagaimana dapat terjadi pelepasan BPA, yang terutama terkait erat dengan cara penyimpanan dan penggunaan kemasan makanan dan minuman.
Sedangkan Prof Ir. Akhmad menekankan pentingnya metabolisme tubuh untuk mencegah bahaya BPA.
“Apakah BPA akan mengendap di tubuh ataukah dicerna, tergantung interaksi antar reseptor dan agennya. Jika interaksinya bagus, maka terjadi metabolisme dan tidak akan terjadi endapan BPA di dalam tubuh yang dapat memicu kanker dan sebagainya,” jelas Prof Ir. Akhmad.
Dr. Karin Wiradarma, M. Gizi, Sp. GK - Dokter Spesialis Gizi Klinik yang juga menjadi pembicara di FGD ini, menyebut bahwa memang belum ada penelitian yang dapat menyimpulkan hubungan atau kausalitas paparan BPA pada manusia.
Terkait bahaya kanker, menurutnya penelitian terhadap BPA hingga kini hanya dilakukan pada hewan coba atau penelitian observasional (pemantauan).
“Saat tubuh terpapar BPA, manusia memiliki mekanisme detoks. ada enzim yang bisa membuat BPA inaktif dan tidak menimbulkan efek kesehatan dan tidak akan berisiko. Namun 10% yang tersisa dalam tubuh memang dapat memicu gangguan kesehatan,” papar Dr. Karin.
Bayi dan Anak jadi Kelompok yang Lebih Rentan Terhadap BPA
Di tengah risiko paparan BPA yang dapat terjadi akibat penggunaan plastik dan benda-benda lain dalam kehidupan sehari-hari, anak-anak disebut sebagai kelompok yang lebih rentan terhadap bahaya kesehatan yang ditimbulkan BPA.
“Ada penelitian yang menyebutkan bahwa makin kecil usia seorang bayi atau anak, ditemukan kadar BPA-nya lebih tinggi, sekitar 4 koma nanogram. Namun masih jauh lebih rendah dibandingkan ambang batas aman yang ditetapkan BPOM,” jelas Dr. Karin
Menurutnya, hal tersebut dikarenakan bayi belum dapat memetabolisme berbagai bahan kimia dengan baik, termasuk juga BPA.
“Ini dikarenakan lever (hati) bayi, terutama yang baru lahir, memang belum matang dan belum dapat mencerna BPA dengan baik. Makin dewasa atau besar usianya, angkanya turun ke sekitar 2 nanogram, karena levernya sudah lebih matang,” ungkapnya.
Dr. Karin mengatakan, inilah alasan mengapa U.S Food and Drug Administration (FDA) serta asosiasi dokter anak di Amerika Serikat menyarankan untuk menghindari botol bayi yang mengandung BPA.
Ketika ditanya mengenai Peraturan BPOM Nomor 6 Tahun 2024, yang mewajibkan produsen AMDK galon isi ulang berbahan polikarbonat untuk mencantumkan label risiko Bisphenol A (BPA) pada produk mereka, dr. Karin menyebut bahwa regulasi tersebut dapat menjadi langkah untuk melindungi masyarakat.
“BPOM juga berupaya untuk melindungi masyarakat, supaya masyarakat bisa lebih menjaga dan terhindar dari penyakit,” ungkapnya saat diwawancara pihak Tribunnews, Rabu (21/08/2024).
Baca juga: Galon Guna Ulang Rawan Terkontaminasi BPA, BPOM Segerakan Sosialisasi dan Edukasi