Bukan Sekadar Tren, Masyarakat Perlu Mengetahui Fakta Terkait BPA dan Bahayanya
tak hanya botol plastik dan galon air minum polikarbonat, BPA ternyata bisa ditemukan dalam berbagai benda lain yang umum digunakan di kehidupan seha
Penulis: Anniza Kemala
Editor: Vincentius Haru Pamungkas
TRIBUNNEWS.COM - Kesadaran masyarakat mengenai kandungan Bisphenol A (BPA), terutama dalam air minum dalam kemasan (AMDK) berbahan polikarbonat, makin meningkat. Tak sedikit tersebar konten-konten di internet dan media sosial yang membahas tentang hal tersebut, khususnya terkait bahaya BPA yang mengancam kesehatan tubuh.
Pembahasan terkait BPA dan bahayanya jadi makin ramai ketika Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengesahkan Peraturan BPOM Nomor 6 Tahun 2024, yang mewajibkan produsen AMDK galon isi ulang berbahan polikarbonat untuk mencantumkan label risiko Bisphenol A (BPA) pada produk mereka.
Meski dengan diresmikannya aturan tersebut, masih ada yang menganggap persoalan mengenai BPA hanyalah sekadar tren atau FOMO (Fear of Missing Out) berdasarkan ramainya konten-konten yang beredar di media sosial. Padahal, bahaya yang dapat ditimbulkan BPA memang benar adanya.
Bahkan, tak hanya botol plastik dan galon air minum polikarbonat, BPA ternyata bisa ditemukan dalam berbagai benda lain yang umum digunakan di kehidupan sehari-hari, mulai dari kaleng hingga resin epoksi.
Prof. Ir Akhmad Zainal Abidin, pakar polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB) pada kegiatan Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Fomo Apa-Apa BPA Free” yang diselenggarakan Rabu, 21 Agustus 2024 di Jakarta, menyebut bahwa BPA berbahaya saat jumlahnya melebihi takaran.
“Kalau ada sisa, berarti ada BPA yang terperangkap di dalam padatan plastik. Dia bisa lepas kalau larut dalam air, bisa lepas juga ke udara, bisa juga campur ke tanah, tergantung situasi dan kondisinya. Makin mudah lepas kalau panas. Jika dingin pori-porinya menyempit, kalau panas plastiknya mengembang,” jelasnya.
Ia pun mengatakan, berdasarkan Globally Harmonized System (GHS) of Classification and Labelling of Chemicals yang dirilis oleh PBB, terdapat tiga kriteria yang membuat kandungan BPA berbahaya.
“Pertama tergantung pada bahannya apa. BPA Berbahaya kalau konsentrasinya tinggi. Kedua jumlah akumulasi pada tubuh kita. Jika banyak, tentunya berbahaya. Ketiga, berapa lama terjadi kontak,” jelasnya.
Baca juga: Pakar Kebijakan Publik Sebut Pelabelan Bahaya BPA oleh BPOM Harusnya Didukung Semua Pihak
Pentingnya kesadaran dan pengertian lebih lanjut soal BPA dan bahayanya
Dr. Karin Wiradarma, M. Gizi, Sp. GK - Dokter Spesialis Gizi Klinik, yang juga menjadi pembicara dalam FGD tersebut, mengungkapkan bahwa BPA memang ada di hampir semua barang yang digunakan sehari-hari.
“Mulai dari wadah makanan dan minuman, peralatan makanan plastik, kemasan makanan dan minuman dari kardus, atau dari makanan kaleng, dan lain-lain,” sebutnya.
“Yang pertama jadi concern memang yang bisa kita telan. Karena itu, pertama-tama hindari menggunakan plastik untuk memasak. Kalau suhunya di atas 70 derajat Celcius maka BPA ini akan menjadi lebih mudah untuk keluar dari kemasannya ke dalam makanan atau minuman,” jelas dr. Karin.
Ketika ditanya mengenai Perka BPOM yang baru saja disahkan pada tahun 2024 ini, dr. Karin menyebut bahwa regulasi tersebut dapat menjadi langkah untuk melindungi masyarakat.
“BPOM juga berupaya untuk melindungi masyarakat, supaya masyarakat bisa lebih menjaga dan terhindar dari penyakit,” ungkapnya saat diwawancara pihak Tribunnews, Rabu (21/08/2024).
Pada kesempatan ini, hadir pula Dr. dr. Andhika Rachman, SpPD, K-HOM - Hematologi dan Onkologi Medik (Kanker). Ia mengatakan bahwa saat ini, BPA dianggap sebagai benda yang dapat mengepung atau menyerang melalui benda-benda yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Mengenai bahayanya terhadap kesehatan, terutama risiko kanker, Dr. Andhika mengatakan belum ada riset yang dilakukan langsung terhadap manusia. Namun, BPA memang dapat menjadi benda asing yang dianggap oleh tubuh manusia sebagai radikal bebas dan menimbulkan bahaya kesehatan.
“Karena dia benda asing, nantinya akan ada metabolisme dan akan keluar lewat urin. Kemungkinan yang tersisa dalam tubuh berjumlah 10 persen, dan yang tersisa ini yang jadi masalah dan bisa mengganggu sistem endokrin, fertilitas, dan sebagainya,” jelasnya.
“Dia adalah senyawa yang mirip seperti hormon estrogen. Pada orang-orang yang rentan mengalami kanker, sedikit demi sedikit dapat menimbulkan gejala seperti polip dan kista. Itulah bagaimana paparan BPA dapat berisiko menyebabkan kanker,” sambungnya.
Untuk mencegah bahaya yang dapat ditimbulkan akibat paparan BPA, Dr. Andhika pun menyarankan masyarakat untuk melakukan pencegahan dengan mengonsumsi makanan dan minuman antioksidan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan, banyak minum, dan berolahraga.
Terkait kewajiban pelabelan BPA pada AMDK, Dr. Andhika mengatakan bahwa pelabelan tersebut memang positif, karena membuat masyarakat menjadi lebih aware atau sadar.
“Ada perhatian dari BPOM, bahwa memang alat-alat makan sehari-hari ada yang BPA free. Tetapi ada hal lain yang perlu disosialisasikan, bukan cuma terkait BPA free, namun juga keadaan di mana BPA bisa mengalami pelepasan di suhu tertentu, karena perlakuan, dan sebagainya. Itu yang perlu ditularkan ke masyarakat,” paparnya kepada pihak Tribunnews.
Baca juga: Tegaskan Pelabelan Bahaya BPA, BPOM Ungkap Dampak Buruk Galon Guna Ulang Bagi Kesehatan