Gangguan Mental Ibu Pascamelahirkan, Baby Blues Bisa Berlanjut Postpartum Depression, Efeknya Fatal
Kondisi postpartum depression lebih parah dibanding baby blues. Ibu bisa merasakan putus harapan. Tak menutup kemungkinan menyakiti diri dan anaknya.
Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Willem Jonata
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Baby blues yang tidak tertangani bisa berlanjut menjadi postpartum depression (PPD).
Baby blues merupakan gangguan kesehatan mental yang dialami ibu setelah melahirkan.
Gejalanya ditandai dengan perubahan suasana hati, rasa khawatir, hingga sedih berlebihan.
Bila tak ditangani, kondisi ini kemungkinan bisa memburuk dan berujung pada depresi atau yang disebut dengan postpartum depression.
Ibu yang mengalami postpartum depression kondisinya bakal lebih parah dibanding baby blues.
Ia bisa merasa putus harapan, merasa tidak menjadi ibu yang baik, sampai tidak mau mengurus anak. Tak menutup kemungkinan di luar kesadarannya mampu menyakiti dirinya sendiri dan anaknya.
Psikolog Olphi Disya Arinda, M.Psi pun beri penjelasan kenapa baby blues bisa berlanjut ke depresi pascamelahirkan atau postpartum depression.
Setidaknya ada tiga hal yang menjadi faktor risiko.
"Ada tiga ternyata menurut penelitian. Yang pertama adalah karena adanya gejala depresi tingkat parah yang dialami selama kehamilan," ungkapnya pada Rangkaian Kegiatan Hari Kesehatan Jiwa Dunia 2024 yang diselenggarakan Kementerian Kesehatan secara virtual, Rabu (16/10/2024).
Menurut Disya, banyak ibu hamil yang tidak menyadari jika dirinya berada dalam kondisi depresi selama kehamilan.
Ternyata depresi selama kehamilan dan sebelum kelahiran mungkin saja bisa terjadi.
"Dan ini yang biasanya tidak disadari. (Penyebab) ada konflik dengan pasangan atau perubahan hidup yang sangat signifikan. Itu mungkin sekali dialami oleh ibu-ibu di masa kehamilan," imbuhnya.
Ketika bayi lahir, depresi ini belum tuntas atau teratasi. Akibatnya, depresi sebelum kehamilan berlanjut menjadi postpartum depression.
Kedua, ibu pernah didiagnosis setidaknya mengalami satu episode depresi. Baik itu di masa kehamilan atau di luar masa kehamilan.
Dapat dikatakan, ibu pernah mengalami depresi sampai sudah didiagnosis oleh psikiater atau psikolog klinis.
Pada kondisi ini, Disya menyarankan sebelum merencanakan kehamilan, pasangan perlu berkonsultasi ke pihak profesional kesehatan mental terlebih dahulu.
Upaya ini dilakukan untuk mencegah adanya risiko postpartum depression.
"Jadi kita bisa manajemen dulu. Misalnya regulasi emosi, faktor dukungan sosial itu perlu ditingkatkan, dan lain sebagainya, agar (postpartum depression) tidak terjadi,"saran Disya.
Ketiga, memiliki riwayat premenstrual dysphoric disorder.
Premenstrual dysphoric disorder adalah gangguan terkait emosi dan fisik yang dialami wanita sebelum masa menstruasi
Disya mengungkapkan jika beberapa jurnal penelitian mengatakan, perempuan yang mengalami rasa sakit atau nyeri yang sangat luar biasa ketika menstruasi, dapat berisiko alami postpartum depression.
"Kenapa? Karena perubahan hormon nya itu terjadi sangat signifikan pada perempuan dengan premenstrual dysphoric disorder. Sehingga itu punya risiko jadi postpartum depression ketika melahirkan," jelasnya.
Oleh karena itu, Disya pun berpesan pada suami atau orang yang tinggal satu rumah untuk selalu mendampingi ibu hamil.
Jangan lupa, untuk selalu peka dengan segala perubahan yang terjadi pada ibu pasca melahirkan.
Jika ditemukan ada tanda yang mengarah pada postpartum depression, segera bawa ibu ke pihak profesional atau tenaga kesehatan terkait.