Eco Fashion Week Indonesia: Membangun Desa Lewat Kekayaan dan Tradisi Lokal
Misi tersebut diwujudkan lewat kerja sama dengan Merdi Sihombing, desainer ternama Indonesia yang aktif mengangkat tradisi Indonesia.
Editor: Content Writer
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) melalui Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Tertinggal (Ditjen PDT) fokus mengangkat pengembang seni dan budaya daerah tertinggal sebagai modal pembangunan desa.
Misi tersebut diwujudkan lewat kerja sama dengan Merdi Sihombing, desainer ternama Indonesia, yang selama satu dekade ini aktif mengangkat kekayaan dan tradisi lokal di Indonesia.
“Bersama Merdi Sihombing, kami akan menggelar Eco Fashion Week Indonesia (EFWI) pada tanggal 30 November sampai 2 Desember 2018 mendatang. Ini adalah visualisasi konsep fashion ramah lingkungan dengan mengangkat budaya asli Indonesia dalam pembuatan tekstil,” kata Direktur Jenderal PDT Samsul Widodo dalam pernyataan tertulisnya, Senin (3/9/2018).
Eco Fashion Week Indonesia (EFWI) adalah gerakan fashion pertama dan terbesar di Indonesia yang diselenggarakan untuk merayakan anugerah bumi dan manusia, serta melindungi dan menyelamatkan bumi.
EFWI pertama kali digelar pada 2018 dan didirikan oleh tiga orang founder yakni Merdi Sihombing, Myra Suraryo, dan Rita M Darwis.
EFWI bertujuan untuk memperkaya referensi fashion masyarakat lewat karya-karya ethical yang dibuat langsung masyarakat di daerah tertinggal, seperti tenun ikat Alor dan tenun ikat Rote Ndao.
Gelaran tersebut, tambah Samsul, merupakan wujud pendekatan pembangunan di daerah tertinggal secara menyeluruh, yakni menyentuh aspek seni dan budaya pembangunan.
“Kami sepakat dan mendukung apa yang dilakukan Merdi Sihombing dalam membangun gerakan eco fashion ini. Oleh karenanya, kami menjadikan eco fashion sebagai salah satu strategi dalam percepatan pembangunan daerah tertinggal. Kami optimistis gerakan ini akan meningkatkan kepercayaan diri masyarakat daerah melalui kekayaan budaya yang dimiliki,” ujar Samsul.
Menurut Samsul, apresiasi karya seni dan budaya lokal dari daerah tertinggal akan membuat para penenun merasa hasil karyanya diapresiasi dan dihargai secara sangat layak.
Ini juga membuat mereka, tambah Samsul, semakin termotivasi untuk terus melestarikan budaya lokal melalui karya tenun yang dihasilkan.
“Pedekatan pembangunan daerah tertinggal berbasis seni dan budaya diharapkan dapat berkontribusi dalam pelestarian kearifan lokal. Tak hanya itu, cari ini juga berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakat di daerah tertingga sebagai perajin tekstil,” kata Samsul.
Sementara itu, Merdi Sihombing menjelaskan jika EFWI adalah milestone dari perjalanan panjang yang perlu dilakukan Indonesia dalam menerapkan konsep slow fashion.
Slow fashion sendiri merupakan konsep yang menampilkan karya seni ramah lingkungan. Menggabungkan potensi lokal dan pewarnaan alami yang ramah lingkungan membuat karya seni menghasilkan nilai tinggi.
“Kebudayaan pembuatan kain dan pakaian tradisional yang diturunkan dari generasi ke generasi akan dipadukan dengan teknik pewarnaan alami. Tekni tersebut dilakukan dengan memanfaatkan bahan baku setempat, seperti daur ulang limbah rumput laut menjadi pewarna alami tekstil Rote Ikat dan daur ulang limbah cumi-cumi dan timun laut menjadi pewarna alami tekstil ikat Alor,” ujar Merdi.
Selain itu, penerapan konsep slow fashion menjadi upaya melestarikan warisan kebudayaan tekstil Indonesia dan membuka lapangan kerja di daerah-daerah sehingga meningkatkan perekonomian daerah.
Merdi mengungkapkan dirinya yakni EFWI dapat membuka mata masyarakat Indonesia dan dunai tentang kekayaan budaya Indonesia dan besarnya potensi yang dimilikinya untuk menjadi negara dengan industri slow fashion terbesar di dunia.
“Kami semua di EFWI merasa bersemangat melancarkan gerakan yang dapat membuat perubahan besar di Indonesia dan membawa budaya Indonesia ke dunia, membawa lebih banyak warga dunia ke Indonesia, dan akhirnya memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan perekonomian nasional,” ungkap Merdi. (*)