Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

HNW Dukung MK Soal Kewajiban Beragama, Itu Sejalan dengan Pancasila dan Konstitusi Yang Berlaku

Hidayat Nur Wahid mendukung putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan judicial review atas sejumlah undang-undang agar diperbolehkan

Editor: Content Writer
zoom-in HNW Dukung MK Soal Kewajiban Beragama, Itu Sejalan dengan Pancasila dan Konstitusi Yang Berlaku
Istimewa
Hidayat Nur Wahid menyambut baik akan mulai dijalankannya program Makan Bergizi Gratis oleh Pemerintahan Presiden Prabowo pada 6 Januari 2025. 

TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mendukung putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan judicial review atas sejumlah undang-undang agar diperbolehkan tidak memeluk agama, tidak menyebutkan agama atau kepercayaan tertentu dalam data kependudukan, melakukan perkawinan tidak berdasarkan agama atau kepercayaan dan tidak mengikuti pendidikan agama dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Menurut HNW, putusan MK itu sesuai dengan Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia, dan juga sesuai dengan Konstitusi yang berlaku di Indonesia yaitu UUDNRI 1945. 

“Dengan kata lain, putusan MK itu menegaskan bahwa setiap warga negara Indonesia harus dan wajib memiliki agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana tertuang dalam sila pertama Pancasila dan berbagai ayat Konstitusi yang berlaku di NKRI. Ini semua kan sudah disepakati menjadi rujukan yang mengikat kita semua sebagai warga negara Indonesia,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Senin (6/1).  

HNW sapaan akrabnya menjelaskan bahwa sejak awal para pendiri bangsa kita (founding parents) sudah menegaskan bahwa pentingnya pemahaman yang utuh terhadap sila pertama Pancasila, yakni ke-Tuhanan Yang Maha Esa, sebagai landasan dalam berbangsa dan bernegara. “Saking pentingnya BerkeTuhanan Yang Maha Esa diletakan pada posisi paling awal, dibandingkan aspek-aspek lainnya, seperti kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan sosial,” ujarnya. 

Baca juga: Makan Bergizi Gratis Dimulai, HNW: Siswa Madrasah/Sekolah Keagamaan dan Pesantren Jangan Terlewat

Lebih lanjut, HNW menuturkan bahwa prinsip dasar di dalam Pancasila dan tertuang dalam Pembukaan UUD NRI 1945 itu juga dijabarkan lebih lanjut ke dalam sejumlah pasal di dalam UUD NRI 1945. Misalnya, Pasal 28E yang memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, bukan kebebasan untuk tidak beragama. Selain itu, ada pula Pasal 28J ayat (2) yang mensyaratkan pelaksanaan hak asasi manusia di Indonesia tidak liberal/permissif, karena terikat dengan ketentuan tidak boleh bertentangan dengan aturan perundangan maupun nilai-nilai agama yang diakui di Indonesia, dan penegasan Pasal 29 ayat (1) UUD NRI 1945 bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa. 

HNW juga sependapat dengan Mahkamah Konstitusi bahwa UUD NRI 1945 adalah konstitusi yang berketuhanan (Godly Constitution) bukan konstitusi yang menafikan Tuhan/Agama, karena pada pembukaan dan batang tubuh termuat tidak hanya kata agama, tetapi juga memuat prinsip-prinsip keyakinan bangsa kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai spirit dalam penyelenggaraan negara. “Itu semua bukan hanya berdasarkan teks UUD NRI 1945, tetapi juga berdasarkan original intent atau tujuan asli dalam pembentukan konstitusi, baik ketika UUD NRI 1945 pertama kali dibuat atau ketika proses amandemen,” ujarnya. 

Oleh karena itu, HNW menyambut baik sikap MK yang tegas terkait kewajiban agama dan kepercayaan ini, termasuk juga terkait dengan kewajiban mendapatkan ajaran agama di dalam penyelenggaraan pendidikan. “Hal tersebut sejalan dengan tujuan pendidikan nasional di dalam Pasal 31 ayat (3) UUD NRI 1945 yakni meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Bila beragama atau mengikuti ajaran agama hanya sebagai pilihan, bukan kewajiban, sebagaimana permintaan pemohon, maka mustahil tujuan pendidikan nasional itu dapat tercapai,” tukasnya. 

Wakil Ketua Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menjelaskan bahwa putusan MK yang bersifat final dan mengikat ini juga mengkoreksi narasi menyesatkan di masyarakat bahwa beragama dan kepercayaan itu adalah hak, sehingga bebas apakah akan digunakan atau tidak digunakan. “Ini adalah argumentasi yang menyesatkan dan tidak sesuai ketentuan Konstitusi. Memeluk dan melaksanakan ajaran Agama atau Kepercayaan di Indonesia itu adalah hak dan kewajiban sekaligus. Jadi, bila merujuk ke Pancasila dan Konstitusi, tidak ada ruang untuk ateisme, komunisme, menihilkan Agama dan ajarannya”tegasnya. 

Berita Rekomendasi

HNW menjelaskan konstruksi konsep hak dan kewajiban sekaligus itu mirip dengan konsep bela negara di dalam UUD NRI 1945. Ia mencontohkan bunyi Pasal 27 ayat (3) bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Analogi yang sama juga berlaku terhadap beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, bahwa selain hak, ada pula aspek kewajibannya sesuai dengan ketentuan Pancasila. 

“Jadi dengan adanya putusan MK ini, ke depan, diharapkan tidak ada lagi narasi-narasi inkonstitusional bahwa beragama dan bekepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa hanya ditempatkan sebagai hak semata, sehingga bisa tidak digunakan. Narasi semacam itu jelas sudah ditolak oleh MK karena tidak sesuai dengan dasar negara dan konstitusi yang berlaku di Indonesia,” pungkasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas