Tingkatkan Harga Jual, Pemerintah Dorong Hilirisasi Komoditas Lada
Tak dapat dipungkiri bahwa Pandemik Covid-19 turut mempengaruhi pelambatan perdagangan komoditas perkebunan terutama masalah dinamika harga
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tak dapat dipungkiri bahwa Pandemik Covid-19 turut mempengaruhi pelambatan perdagangan komoditas perkebunan terutama masalah dinamika harga. Salah satunya komoditas lada.
Pada Mei lalu tercatat harga lada putih sebesar Rp. 46.360 per kg dan lada hitam Rp. 25.900 per kg. Padahal pada masa jayanya pada tahun 2016, harga lada mencapai Rp. 150.000 per kg.
Menyikapi hal tersebut, Direktur Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Kasdi Subagyono mengatakan perlunya hilirisasi komoditas lada.
"Petani tidak hanya menjual lada utuh tetapi lada bubuk dengan nilai tambah tinggi," papar Kasdi Subagyono pada keterangan tertulisnya, Rabu (17/6/2020) lalu.
Menurutnya, pemerintah juga telah memberikan bantuan fasilitas pengolahan lada. Selain itu, untuk mengatur distribusi dan tataniaga lada di sentra produksi, dapat juga memanfaatkan fasilitasi Sistem Resi Gudang (SRG) dari Commodity Futures Trading Regulatory Agency (BAPPEBTI) atau sistem tunda jual saat panen raya, stok melimpah dan harga belum remuneratif.
Lebih jauh, Kasdi mengungkapkan upaya meningkatkan harga jual lada juga dilakukan dengan peningkatan mutu lada produksi petani dan peningkatan posisi tawar petani terhadap pelaku usaha agribisnis.
“Pada dasarnya kelembagaan petani menjadi salah satu solusi dalam posisi tawar petani terhadap dinamika harga, tentunya kelembagaan dengan menjalin kemitraan yang kuat dengan industri/pelaku usaha,” ucapnya.
Oleh karenanya, lanjut Kasdi, pemerintah terus mendorong peran penyuluh dalam penguatan kelembagaan petani.
"Peran penyuluhan dan penguatan kelembagaan petani melalui kemitraan usaha dengan industri turut menjadi faktor penting dalam akselerasi pengembangan sosial ekonomi petani,” tambahnya.
Terkait dengan peningkatan mutu lada, Pemerintah terus berupaya mendorong petani lada untuk menerapkan teknologi pertanian sesuai standar Good Agricultural Practices (GAP).
Dengan demikian akan dihasilkan produk dengan kualitas yang memenuhi standar yang dipersyaratkan pelaku usaha dan industri sehingga dengan sendirinya harga jual lada akan semakin kompetitif.
“Terkait harga lada yang menurun dapat diatasi, salah satunya dengan meningkatkan produktivitas, tentunya dengan inovasi teknologi pemeliharaan, intensifikasi, GAP, dan lainnya,” ucap Kasdi.
Berdasarkan data Ditjen Perkebunan, diketahui bahwa produktivitas lada nasional rata-rata mencapai sebanyak 500 kg per hektare.
“Dengan provitas naik, maka bisa mengatasi tingginya biaya faktor produksi di penanaman lada ditengah harga lada yang fluktuatif. Selain itu, pemerintah mendorong integrasi tanaman Lada dengan ternak (pemanfaatan tajar hidup dari lamtoro untuk pakan ternak) dan tanaman pangan lainnya sehingga bisa membantu pemasukan petani,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan, Dedy Junaedi mengatakan beberapa sentra produksi lada seperti di Bangka Belitung, Lampung, dan Sulawesi Selatan mengalami fluktuasi harga yang cukup tinggi.
Untuk mengatasinya, papar Dedy, telah menyiapkan langkah-langkah antisipatif. Salah satunya dengan mendorong penyerapan dalam negeri dan membuka akses pasar ekspor ke negara-negara maju.
Selain itu, pemerintah juga telah mengeluarkan beberapa kebijakan di sektor hulu seperti fasilitasi bantuan pengembangan lada melalui bantuan benih dan sarana produksi.
"Perlu sinergitas yang kuat antara pemerintah pusat, daerah, pelaku usaha dan industri untuk menjawab persoalan tersebut," pungkasnya.(*)