Pertama di Indonesia, Banteng Hasil Perkembangbiakan Eksitu Kembali ke Habitat Alaminya
Pelepasliaran banteng tersebut dilakukan oleh Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), Wiratno.
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Momen bersejarah terjadi di bidang konservasi banteng jawa (Bos javanicus) Indonesia. Untuk pertama kalinya banteng jawa hasil perkembangbiakan eksitu dikembalikan ke habitat alaminya. Tepatnya pada Hari Kamis 3 September 2020, Dua ekor banteng jantan, yaitu Tekad (lahir 9 Juli 2014) dan Patih (lahir 23 Mei 2016) dikembalikan ke habitat alaminya di Taman Nasional Baluran, Banyuwangi, Jawa Timur.
Kedua banteng tersebut merupakan banteng hasil perkembangbiakan secara eksitu di Suaka Satwa Banteng (SSB) Taman Nasional Baluran, sebuah lokasi yang di bangun untuk mendukung program perkembanganbiakan banteng jawa agar mempercepat pemulihan populasi spesies banteng jawa yang terancam punah, serta untuk memperkaya keragaman genetik banteng yang ada di Taman Nasional Baluran.
Pelepasliaran banteng tersebut dilakukan oleh Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), Wiratno.
"Saat ini hanya tersisa kurang dari 5000 ekor banteng jawa di alam ini, namun populasi banteng liar di Baluran sendiri, selama 5 tahun terakhir menunjukkan tren peningkatan populasi yang menggembirakan. Dari estimasi 44 - 51 individu di tahun 2015, meningkat menjadi 124 - 140 individu di tahun 2019. Estimasi populasi tersebut didapatkan dari analisa data kamera trap yang dilakukan setiap tahun," ujar Wiratno.
Lebih lanjut Wiratno menjelaskan jika saat ini kantong populasi utama banteng jawa di Pulau Jawa hanya tersisa di Taman Nasional Baluran, Taman Nasional Alas Purwo, Taman Nasional Meru Betiri dan Taman Nasional Ujung Kulon. Namun keempat habitat alami tersebut sudah terisolasi oleh area pemukiman dan budidaya, yang tidak memungkinkan bagi banteng-banteng tersebut untuk saling terhubung yang dalam jangka panjang, sehingga bisa mengakibatkan turunnya kualitas genetik dan berdampak pada berbagai hal, seperti penyakit genetik hingga potensi banteng menjadi kerdil.
Oleh karena itu dibangunlah SSB, Wiratno menyebut jika SSB merupakan salah satu strategi untuk mengintervensi faktor alam yang sudah sulit terjadi, SSB dijadikan sebagai "gene pool" yang berfungsi untuk menampung banteng dari berbagai kantong populasi, untuk kemudian dikembangbiakan agar menghasilkan individu banteng dengan variasi genetik yang lebih beragam.
"Anakan dari Suaka Satwa Banteng inilah yang nantinya dilepasliarkan ke alam sebagai 'fresh blood' untuk menjaga variasi genetik populasi di alam tetap terjaga," imbuhnya.
Mengingat banteng ini lahir di fasilitas eksitu, metode pelepasliaran yang dilakukan adalah soft release, yaitu satwa telah melalui proses panjang untuk siap baik secara perilaku maupun kemampuan bertahan hidup sebelum dilepaskan ke habitat alaminya. Kedua banteng tersebut telah menjalani proses habituasi selama 8 bulan sebelum dilepasliarkan.
Selanjutnya setelah dilepasliarkan kedua banteng jawa tersebut akan terus dipantau. Menggunakan GPS Collar bantuan dari Copehangen Zoo, pergerakan kedua banteng tersebut akan terus dipantau secara digital, selain itu pemantauan juga dilakukan secara manual dengan mengikuti pergerakan banteng dan mencatat mencatat perilaku banteng selama 3 bulan.
Taman Nasional Baluran juga terus melakukan upaya pemulihan populasi banteng jawa di alam, salah satu upayanya yaitu dengan menurunkan ancaman kelestarian banteng, seperti menindak pelaku perburuan liar dan juga penanganan terhadap spesies invasif Acacia nilotica seluas 6000 hektar yang telah mengganggu habitat banteng jawa di Taman Nasional Baluran.
"Dengan kemampuan reproduksi yang relatif cepat, di mana hampir setiap tahun banteng mampu bereproduksi, optimisme populasi banteng dapat pulih di Taman Nasional Baluran sangat tinggi, disamping juga upaya untuk menyiapkan habitat ideal bagi banteng," pungkas Wiratno.