Bamsoet: Tiga Gap dalam Digital Trading di Indonesia untuk Optimalisasi Pemanfaatan Digitalisasi
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo berbicara soal tren dunia industri yang dipenuhi dengan digitalisasi dan perlunya mengetahui tiga gap di bawah ini.
Penulis: Content Writer
Tiga Gap dalam Digital Trading di Indonesia
Di sisi lain, langkah-langkah pembenahan tersebut juga harus dapat menghindarkan persepsi yang keliru mengenai paradigma ekonomi digital seperti halnya fenomena robot trading dan aset kripto.
Karena menurut catatan Bambang Soesatyo, jika cermati lebih dalam, akar persoalan dalam implementasi bisnis digital juga bersumber dari adanya kesenjangan atau gap, seperti di bawah ini;
a) Gap antara pengambil kebijakan dengan masyarakat, yaitu digital society yang begitu sangat cepat meluas akibat online life styles, sementara infrastruktur pengaturan dan pembinaan berbasis digital belum siap;
b) Gap digital literatif (pemberian pemahaman) yang masih kurang dari pengambil kebijakan terhadap masyarakat;
c) Gap tindakan perlindungan konsumen antara pelaku industri dengan peraturan yang disiapkan untuk aktivitas bisnis dari regulator.
Masih menurut dirinya, ketiga gap tersebut berinteraksi secara bersamaan dalam masyarakat sehingga mengakibatkan persoalan “apa dan bagaimana” menjalani bisnis di dunia digital (digital trading) menjadi semrawut. Dengan memahami sebagian dari akar persoalan dalam implementasi bisnis digital tersebut, kiranya dapat membantu masyarakat untuk melihat fenomena robot trading dan aspek kripto dengan lebih jernih. Sudah saatnya bagi Indonesia untuk memaknai pesatnya pertumbuhan ekonomi digital sebagai momentum untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi, yang selama hampir 2 tahun ini telah tergerus oleh pandemi Covid-19.
Dia juga mengatakan bahwa tingginya angka kapitalisasi dan besarnya jumlah investor dalam fenomena robot trading dan aset kripto juga harus dimaknai sebagai peluang dan potensi yang bisa dioptimalkan dalam memajukan perekonomian nasional.
"Di satu sisi, berkembangnya ekonomi digital harus kita sikapi dengan bijaksana dan penuh kehati-hatian. Di sisi lain, pesatnya pertumbuhan ekonomi digital harus dapat kita optimalkan melalui penyempurnaan ekosistem digital yang meliputi sektor perbankan digital, industri teknologi keuangan (fintech), dan e-commerce, sebagai satu kesatuan sistem yang terintegrasi. Momentum pertumbuhan ekonomi digital ini harus kita respon dengan beberapa langkah strategis. Pertama, melalui penataan regulasi, yang tidak saja penting untuk memberikan kepastian hukum kepada pelaku usaha dan perlindungan hukum bagi konsumen, namun juga untuk menjamin agar aktivitas ekonomi digital memberi kontribusi pada pendapatan negara, misalnya dari sektor perpajakan. Untuk itu perlu dipersiapkan infrastruktur pengaturan dan pengawasan aset kripto atau aset digital termasuk trading-nya," tambah Bamsoet.
Langkah ini tentunya membutuhkan partisipasi dan komitmen dari segenap pemangku kepentingan, khususnya Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan, untuk duduk bersama dan merumuskan kerangka kebijakan yang komprehensif dan implementatif.
Dalam kaitan ini, saya menyarankan bahwa sambil menunggu regulasi dan memastikan tidak terjadi mis-selling dan rusaknya kepercayaan publik, serta demi melindungi konsumen, dan mengklarifikasi entry players ke pasar, perlu disiapkan SANDBOX, yaitu menghimpun semua pelaku apapun bentuknya, lalu diberikan pembinaan regulasi, transparansi, aturan bisnis, serta legalitas entitas sedemikian rapihnya agar kemudian memenuhi syarat kelayakan bermain bisnis di masyarakat.
Praktik SANDBOX ini telah diterapkan di berbagai negara seperti Uni Eropa, Amerika, China dan Asia Tenggara termasuk Bank Indonesia dan OJK di Indonesia. Saya menyarankan, kiranya Kementerian Perdagangan khususnya melalui BAPPEBTI perlu memikirkan penerapannya.
Langkah strategis yang kedua adalah reformasi sistem pembayaran dalam kegiatan transaksi ekonomi digital. Dalam kerangka reformasi sektor keuangan, saya sependapat dengan seruan Gubernur Bank Indonesia, sebagaimana juga telah menjadi perhatian negara-negara G20 untuk mengelola resiko dan mengoptimalkan manfaat dari semakin meluasnya penggunaan teknologi digitalisasi di sektor keuangan.
Gagasan Bank Indonesia untuk merumuskan pembuatan mata uang digital atau “digital rupiah” menjadi sejalan dengan pemahaman bahwa G20 juga menekankan implikasi dari Central Bank Digital Currenncy (CBDC) terhadap sistem moneter dan keuangan internasional.