KKP Pastikan Hasil Sedimentasi Layak untuk Dukung Pembangunan Nasional
KKP menegaskan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut untuk kepentingan nasional.
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menegaskan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut untuk kepentingan nasional. Hasil sedimentasi dipastikan layak untuk digunakan untuk mendukung proyek-proyek pembangunan di dalam negeri.
Kepala Badan Riset Sumber Daya Manusia Kelautan Perikanan I Nyoman Radiarta menerangkan, endapan sedimen merupakan batuan yang tertransportasi dari hasil material kompak yang terakumulasi di permukaan bumi atau merupakan produk penghancuran batuan tua yang kemudian diangkut dan didistribusikan oleh arus atau angin. Berdasarkan jenisnya sedimen dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran butirannya menjadi lempung, lumpur, pasir, kerikil, koral, cobble, dan batu (boulder).
"Sebaran tekstur sedimen di dasar laut sangat penting untuk dilakukan pengelolaan," ungkap I Nyoman dalam siaran resmi KKP di Jakarta, Senin (5/6/2023).
Lebih lanjut dia menerangkan, hasil sedimentasi laut berupa tanah lunak (lempung) sejatinya merupakan material reklamasi yang lebih ekonomis dan ramah lingkungan.
Sedimentasi jenis ini tersedia dalam jumlah yang melimpah di dasar laut, sungai, serta wilayah pesisir, dan memiliki potensi yang besar untuk dijadikan bahan pengisi pekerjaan reklamasi, sebagaimana telah dilakukan di proyek-proyek pembangunan di luar negeri.
"Sebagai contoh pemanfaatan tanah lunak (Lempung) hasil sedimentasi untuk Reklamasi sudah dilakukan untuk pembangunan Bandara Internasional Jepang Tengah, peluasan Pelabuhan Laut di Brisbane, Australia dan Pelabuhan Kapal Valencia, Spanyol," beber Nyoman.
Hal senada disampaikan Kepala Pusat Riset Kelautan, Hendra Yusran Siry. Dijelaskannya jenis dan tipe sedimentasi di laut yang bisa dioptimalkan untuk reklamasi tidak saja berjenis angular atau bertekstur kasar, tapi juga yang bertekstur lebih halus seperti lempung. Berbagai metode dan teknologi untuk konsolidasi sedimentasi laut telah tersedia bahkan untuk tipe sangat halus sekalipun.
"Pekerjaan reklamasi di berbagai tempat telah membuktikan bahwa dengan tipe yang bukan angular atau bertekstur kasar bisa berhasil dengan tingkatan kepadatan tanah yang baik dan kuat. Sebagai contoh, pekerjaan skala besar di wilayah pesisir Busan, Korea Selatan meliputi wilayah Gadukdo, Noksan dan Shinho telah membuktikan keberhasilan endapan lempung laut lunak in-situ dengan ketebalan sekitar 30 hingga 40 meter," urainya.
Dalam proses reklamasi alami pun, tekstur sedimentasi yang lebih halus bisa meningkatkan kepadatan dan penambahan sedimentasi mencapai 10 cm per tahun seperti yang terjadi di muara Sungai Porong, Sidoarjo. Pembuktian ini menjawab anggapan sejumlah pihak yang menyebut hasil sedimentasi tidak bisa digunakan sebagai material reklamasi.
Hendra menambahkan, PP 26 Tahun 2023 dan PP Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang menjadi kombinasi apik yang memastikan upaya pemanfaatan hasil sedimentasi laut berpadu dengan rencana reklamasi yang legal. Penggunaan hasil sedimentasi laut untuk memenuhi kebutuhan reklamasi justru dapat meminimalisir terjadinya kerusakan lingkungan di darat yang dapat memicu terjadinya bencana.
“Hitungan sederhana untuk luasan rencana 7.000 hektar yang sudah tercantum dalam rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ketinggian sampai 10-meter misalnya membutuhkan material sekitar 700 juta meter kubik, dan belum lagi material lain serta potensi reklamasi lain. Apabila jumlah material yang dibutuhkan tersebut diambil dari darat maka sekitar sepertiga dari luas Taman Nasional Gede Pangrango (luas hampir lebih 24.000 hektar) perlu diratakan dan dialihkan ke lokasi reklamasi atau 8x luas total daratan kepulauan seribu (luas daratan kepulauan seribu 890 hektar). Pengambilan material dari darat dengan asumsi itu dengan mudah akan menimbulkan bencana seperti banjir, tanah longsor, hilangnya sumber mata air, dan hilangnya lahan pertanian. Dalam pelaksanaannya pun akan mengganggu aktivitas warga karena transportasi pengangkatan material. Polusi debu dan rusaknya jalan sebagai jalur logistik pangan masyararkat ikut menjadi korban,” papar Hendra.
Sehingga, sambungnya, pilihan terbaik ialah mengambil material yang secara proses alami selalu ada yaitu sedimentasi dari laut. Sedimentasi dapat ditemukan di beberapa lokasi seperti di muara sungai, maupun pada perairan laut bahkan membentuk gosong yang justru dapat mengganggu alur nelayan dan tempat pemijahan.
Hasil sedimentasi yang tidak dikelola dengan baik, diakuinya juga akan berdampak pada kelestarian ekosistem dan produktivitas masyarakat baik itu Masyarakat Pesisir maupun Umum.
Tentunya dalam memanfaatkan hasil sedimentasi memerlukan kajian komprehensif dan pengawasan pada saat pelaksanaan pembersihan sedimen. Sehingga tujuan keberadaan PP 26/2023 untuk meningkatkan daya dukung dan daya tampung serta kesehatan laut dapat dicapai.
KKP akan memastikan pelaksanaan PP 26/2023 akan dilaksanakan dengan tahapan perencanaan, pengendalian, pemanfaatan dan pengawasan yang sangat ketat dan tranparan untuk menanggulangi sedimentasi yang dapat menurunkan daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir dan laut serta mengutamakan pada kesehatan laut.
Sebelumnya Menteri Trenggono menyatakan bahwa pemanfaatan hasil sedimentasi khususnya pasir laut diutamakan untuk mendukung proyek-proyek pembangunan di berbagai wilayah Indonesia, bukan untuk komoditas ekspor.
Penggunaan pasir laut untuk reklamasi juga menjadi lebih terukur karena harus berasal dari hasil sedimentasi, bukan yang dikeruk di sembarang lokasi. PP 26/2023 juga mengedepankan keterbukaan dalam pengelolaan dan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut.
Hal itu ditujukan dengan pembentukan Tim Kajian yang terdiri dari unsur pemerintah, perguruan tinggi, hingga aktivis lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Bab Perencanaan.(*)