Wakil Ketua MPR: Putusan MK Yang Dibacakan Anwar Usman Bertentangan Dengan Sikap Enam Hakim MK
Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah sebut putusan MK yang dibacakan oleh Anwar Usman memiliki keputusan yang bertentangan dengan sikap 6 hakim MK.
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutuskan perkara kontroversial yang lebih nampak aspek politiknya ketimbang aspek hukum konstitusi yaitu mengenai pengujian ketentuan syarat umur Capres dan Cawapres yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. MK dalam putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 menyatakan “mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian”.
MK kemudian dalam amar putusan yang dibacakan Ketua MK Anwar Usman menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang menyatakan "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah".
Berdasarkan amar putusan, redaksi ketentuan Pasal 169 huruf q UU Pemilu berubah menjadi "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah".
Akan tetapi, apabila dicermati secara detail putusan tersebut, maka terdapat persoalan mendasar dalam putusan MK tersebut. Persoalan tersebut berkaitan dengan Amar Putusan. Bahwa amar putusan MK yaitu: "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah".
Baca juga: Pernah Dibela oleh PDI Perjuangan, Ahmad Basarah: Kini Air Susu Dibalas Air Tuba
Terhadap amar putusan tersebut, ada 4 (empat) Hakim Konstitusi yang menyatakan Dissenting Opinion (pendapat berbeda) dengan menyatakan “menolak permohonan tersebut”, yakni terdiri dari Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat dan Suhartoyo.
Selain itu, terdapat pula 2 (dua) Hakim Konstitusi yang oleh putusan disebut memiliki concurring opinion (alasan berbeda), yaitu Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh.
Namun, apabila dicermati lagi pendapat 2 hakim konstitusi tersebut, maka sejatinya kedua hakim konstitusi tersebut menyampaikan Dissenting Opinion. Sebab, kedua hakim konstitusi tersebut memiliki pendapat berbeda soal amar putusan.
Menurut hakim konstitusi Enny Nurbaningsih, amar putusan seharusnya berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Gubernur yang persyaratannya ditentukan oleh pembentuk undang-undang”.
Kemudian, menurut hakim konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, amar putusannya seharusnya: “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi”.
Baca juga: Ahmad Basarah Optimis TNI Mampu Raih Kepercayaan Rakyat dan Kawal Demokrasi Indonesia
Artinya, sejatinya hanya 3 (tiga) orang hakim konstitusi yang setuju dengan amar putusan ini (berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah).
Sisa 6 hakim konstitusi lainnya juga memiliki pendapat berbeda yang berkaitan dengan amar putusan. Oleh karena itu, sebenarnya putusan MK ini tidak mengabulkan petitum pemohon, melainkan menolak permohonan pemohon.
Kalaupun mau dipaksakan bahwa 5 orang hakim mengabulkan permohonan maka titik temu diantara 5 orang hakim adalah berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah Gubernur.
Dengan demikian putusan MK tidak dapat dimaknai bahwa berpengalaman sebagai kepala daerah adalah sebagai bupati/walikota.
Atas putusan yang problematik seperti ini maka sudah selayaknya untuk tidak serta merta diberlakukan karena mengandung persoalan yaitu kekeliruan dalam mengambil keputusan yang berakibat pada keabsahan putusan.
Putusan semacam ini jika langsung ditindaklanjuti oleh KPU akan melahirkan persoalan hukum dan berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari terkait legitimasi dan kepastian hukum putusan. Untuk itu sudah seharusnya KPU mengedepankan asas kehati-hatian, kecermatan dan kepastian dalam mempelajari keputusan ini.
Baca juga: Tolak Politik Identitas, Ahmad Basarah Ajak Generasi Muda Jadikan Pilpres 2024 Pesta Kebangsaan