Dalam Perilisan Buku ke-32, Bamsoet Tegas Menghargai Keputusan Mahkamah Konstitusi Terkait TAP MPR
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menghargai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak uji materi tentang keberadaan dam ketetapan TAP MPR
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menghargai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak uji materi tentang keberadaan TAP MPR dan menyatakan MPR tidak berwenang mengeluarkan ketetapan atau Tap yang bersifat mengatur (regeling) dan berlaku mengikat keluar.
Namun Bamsoet mengingatkan, potensi bahaya seandainya dalam keadaan tertentu muncul keadaan yang luar biasa berpotensi mengancam keutuhan bangsa dan negara, sementara UUD belum merumuskan dengan jelas untuk mengatasi keadaan itu. Semisal menjelang Pemilihan Umum terjadi sesuatu yang di luar dugaan kita bersama, seperti bencana alam, atau pandemi yang tidak segera dapat diatasi, tidak ada lembaga yang berwenang menunda pelaksanaan Pemilihan Umum.
Kemudian, bagaimana pengaturan konstitusional-nya jika pemilihan umum tertunda, sedangkan masa jabatan Presiden, Wakil Presiden, para anggota MPR, DPR, dan DPD, serta para menteri anggota kabinet (termasuk triumvirat : Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan) telah berakhir masa jabatannya.
Baca juga: Pimpinan MPR: Indonesia Harus Komitmen Kurangi Dampak Perubahan Iklim saat Periode Transisi Energi
"Masalah-masalah seperti ini belum ada jalan keluar konstitusionalnya. Idealnya, UUD 1945 harus dapat memberikan jalan keluar secara konstitusional, menyediakan sebuah 'pintu darurat', untuk mengatasi kebuntuan ketatanegaraan atau 'constitutional deadlock'," kata Bamsoet.
Sementara itu, Mantan Ketua MK yang kini Anggota DPD RI Prof Jimly Asshiddiqie mendorong masuknya kembali Utusan Golongan dan Utusan Daerah di MPR. Kepala LLDIKTI Wilayah 3 Kemenristek Prof Toni Toharudin juga mengatakan, pemikiran yang dituangkan Bamsoet dalam bukunya ini tidak hanya menyajikan analisis kritis terkait peran MPR RI, tetapi juga menawarkan solusi kongkrit dalam hal bangsa negara menghadapi kegentingan yang tidak diatur dalam konstitusi pasca amandemen keempat.
"Tidak kita pungkiri bahwa setelah amandemen keempat, konstitusi ternyata masih menyisakan beberapa persoalan yang belum ada rujukan penyelesaian konstitusionalnya. Persoalan-persoalan itu antara lain, bagaimanakah langkah konstitusional yang dapat kita tempuh, seandainya dalam keadaan tertentu muncul keadaan yang luar biasa yang berpotensi mengancam keutuhan bangsa dan negara. Sementara UUD belum merumuskan dengan jelas untuk mengatasi keadaan itu," ujar Bamsoet saat peluncuran buku ke-32 karya Bamsoet berjudul 'Konstitusi Butuh Pintu Darurat: Urgensi Memulihkan Wewenang Subjektif Superlatif MPR RI', di Jakarta, Rabu (17/1/24).
Baca juga: Bamsoet Tutup Rakernas dan Munaslub IMI, Powerboat, Aquabike dan Air Race Resmi Dibawah Naungan IMI
Selain Prof Jimly Asshiddiqie dan Prof Toni Toharudin, acara tersebut juga dihadiri Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nurwahid, Fadel Muhammad, Asrul Sani, Sekjen PKS yang juga anggota Komisi III DPR Aboe Bakar Al-Habsyi dan mantan ketua MK Hamdan Zulfa. Sementara Wakil Ketua DPR RI yang juga Cawapres Paslon No.1 Muhaimin Iskandar hadir memberikan testimoni.
Dosen Pascasarjana Universitas Pertahanan RI (UNHAN) dan Kepala Badan Polhukam KADIN Indonesia ini memaparkan, jika situasi seperti itu benar-benar terjadi, maka prinsip kedaulatan rakyat yang harus dikedepankan untuk mengatasi keadaan-keadaan bahaya tersebut. Secara akademis, lembaga MPR yang diisi oleh anggota-anggota DPR dan DPD yang kesemuanya adalah produk pemilihan umum, menjadi satu-satunya lembaga negara yang paling merepresentasikan wujud kedaulatan rakyat.
"Sesuai amanat ketentuan pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar, sebagai representasi dari prinsip daulat rakyat, maka MPR dapat diatribusikan dengan kewenangan subyektif superlatif dan kewajiban hukum untuk mengambil keputusan atau penetapan yang bersifat pengaturan guna mengatasi dampak dari suatu keadaan kedaruratan. Misalnya berupa kahar politik ataupun kahar fiskal yang tidak dapat diantisipasi dan tidak bisa dikendalikan secara wajar," tambah Bamsoet.
Wakil Ketua Umum FKPPI ini menegaskan, menghadirkan kewenangan subyektif superlatif memiliki makna strategis untuk mengembalikan dan menyempurnakan daulat rakyat yang direpresentasikan oleh lembaga perwakilan yang “lengkap”, terdiri dari unsur DPR dan DPD, dalam kelembagaan MPR.
Baca juga: Dorong Peningkatan Kualitas Perguruan Tinggi, Bamsoet: Salah Satunya lewat Akreditasi Berkala
Ketetapan MPR dimaknai dan diterima sebagai rumusan aspirasi terbaik menurut semua elemen masyarakat. Setiap kebijakan strategis yang diberlakukan melalui Tap MPR, patut dipahami sebagai kesepakatan seluruh rakyat, yang tujuannya adalah untuk kemaslahatan bersama.
"Mengeliminasi wewenang subyektif superlatif dari MPR, dapat dimaknai mereduksi kekuasaan tertinggi rakyat yang telah memberi mandat kepada presiden. Dalam konsepsi ini, maka kuasa rakyat dalam menetapkan arah dan masa depan bangsa melalui permusyawaratan dan perwakilan, sebagaimana diamanatkan oleh sila ke-4 Pancasila, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”, hanyalah sebuah utopia," pungkas Bamsoet.
Bamsoet sendiri telah melahirkan berbagai karya buku antara lain Mahasiswa Gerakan dan Pemikiran (1990); Kelompok Cipayung, Pandangan dan Realita (1991); Ekonomi Indonesia 2020 (1995); Skandal Gila Bank Century (2010); Perang Perangan Melawan Korupsi (2011); Pilpres Abal-Abal Republik Amburadul (2011); Republik Galau (2012); Skandal Bank Century di Tikungan Terakhir (2013).
Baca juga: Wakil Ketua MPR RI Sebut Konsistensi Pemerataan Pendidikan Harus terus Dilakukan
Selain itu terdapat juga buku Presiden dalam Pusaran Politik Sengkuni (2013); 5 Kiat Praktis Menjadi Pengusaha No.1 (2013); Indonesia Gawat Darurat (2014); Republik Komedi 1/2 Presiden (2015); Ngeri Ngeri Sedap (2017); Dari Wartawan ke Senayan (2018); dan Akal Sehat (2019); Jurus 4 Pilar (2020); "Solusi Jalan Tengah" (2020); Cegah Negara Tanpa Arah (2021); Hadapi Dengan Senyuman (2021); Melawan Radikalisme dan Demoralisasi Bangsa (2022); Indonesia Era Disrupsi (2022); 60 Tahun Meniti Buih di Antara Karang (2022); PPHN Tanpa Amendemen (2023); PPHN Menuju Indonesia Emas 2045 (2023); News Maker’ - Satu Dasawarsa The Politician Senayan (2023). (*)