Satu Tahun Jadi Juru Bicara, dr. Reisa: Ini Bukan Tentang Angka
dr. Reisa menceritakan pandangannya menjadi juru bicara Covid-19 untuk pemerintah. Ia juga mengutarakan berbagai upaya pemerintah menghadapi krisis.
Editor: Content Writer
Memasuki bulan keenam sejak program vaksinasi digulirkan, masyarakat Indonesia mengantre di pos dan sentra vaksinasi.
"Tidak hanya mengantre untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk mendampingi lansia, guru, dan tokoh agama divaksinasi. Mobil, bus, ojek online, dan bahkan becak, digunakan untuk mengangkut lansia menemui petugas vaksinasi," ungkap dr. Reisa.
Menurutnya, beginilah cara orang Indonesia mempersonifikasikan ungkapan, “tidak ada yang aman sampai semua orang aman (no one is safe until everyone is safe)."
Masyarakat Indonesia adalah salah satu yang beruntung. Lebih dari 90 juta dosis Coronavac dari Sinovac, AstraZeneca dari Covax dan Sinopharm telah mendarat di bandara Soekarno Hatta dan sudah disuntikkan ke lebih dari dua puluh juta orang Indonesia.
Dan kabar baiknya tidak berhenti di situ, berbagai perguruan tinggi berkomitmen mengembangkan Vaksin Merah Putih dalam rangka menguatkan kemandirian.
Para ilmuwan dari Lembaga Molekuler Eijkman, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Universitas Airlangga, Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung dan Universitas Padjajaran kini tengah berlomba mengembangkan vaksin produksi Indonesia.
"Pandemi mungkin sedikit melemahkan kita, tetapi juga telah menunjukkan resiliensi dan ketangguhan kita. Itulah hikmah dari serangkaian kegiatan komunikasi saya kepada public sebagai jubir—bahwa bukan angka dan statistik yang paling penting, melainkan orang-orang, kisah ketangguhan manusia Indonesia adalah yang paling utama," pungkas dr. Reisa.