Mau Rumah Murah Tapi Tak Murahan? Tiru Omah Kebon Ini
Semilir angin menyapa dari arah selatan menghampiri sebuah rumah yang disebut Omah Kebon oleh pemiliknya.
Editor: Anita K Wardhani
Laporan Reporter Tribun Jogja, Theresia T. Andayani
TRIBUNNEWS.COM, YOGYA - Semilir angin menyapa dari arah selatan menghampiri sebuah rumah yang disebut Omah Kebon oleh pemiliknya. Tampak sebuah sanggar di samping bangunan induk rumah tempat untuk bermain dan melakukan kegiatan seni.
"Sanggar ini dulu sering dipakai anak saya untuk bermain dan membuat topeng, tapi sekarang dipakai untuk latihan silat," ucap Whani Darmawan (47 tahun), sang pemilik rumah, saat berbincang dengan Tribun Jogja, beberapa waktu lalu.
Rumah Whani begitu rimbun dikeliling pepohonan maka rumah ini dinamakan Omah Kebon. Area seluas 200 meter persegi ini menyisakan halaman pekarangan yang cukup luas, karena luas bangunannya hanya 64 meter persegi saja. Dibangun pada tahun 2004, dan selesai pembangunan pada 2005.
Omah Kebon ini dikerjakan oleh Arsitek UGM, Dr. Ir. Eugenius Pradipto dan meraih penghargaan Karya Konstruksi Indonesia (KKI) kategori teknologi tepat guna tahun 2012.
Omah Kebon yang lokasinya berada di kampung Nitiprayan Yogyakarta ini bukanlah bangunan mewah. Pemilik rumah, Wani Darmawan, adalah seorang seniman dan novelis. Ketika dibangun tahun 2005, Wani Darmawan meminta Pradipto membangun rumah impiannya dengan dana Rp 60 juta. Oleh Pradipto, dibangunlah sebuah rumah tipe dua lantai seluas 64 meter persegi diatas lahan seluas 11x20 meter.
Keunikan dari rumah ini terletak pada bahan bangunan yang dipakai, yakni menggunakan material sisa, berupa bekas potongan keramik, potongan kaca, genteng bekas, kayu peti kemas, kusen dan daun usang. Papan kayu bekas gulungan kabel PLN dimanfaatkan untuk bahan lantai 2 serta material tangga. Dinding rumah berupa anyaman bambu, dikombinasikan dengan papan kayu pinus, keramik sisa, batu kerikil.
Ornamen kaca dan pecahan tegel beragam warna yang menghiasi dinding rumah juga merupakan limbah yang dipungut dari banyak tempat, baik dari hasil pemberian maupun membeli. "Hampir semuanya dari limbah, hanya konstruksinya saja beton, karena harus kokoh dan kuat. Bahkan saat gempa lalu, rumah ini tak ada yang roboh," jelas Whani.
Pradipto membenarkan hal itu, untuk sisa potongan kaca yang diambil di tempat toko besi dijadikan untuk dinding mosaik kaca beton yang mampu menampilkan perpaduan yang eksotis dan natural.
"Kreasi jenis material bekas yang saya gunakan mampu memperkuat konsep gagasan desainnya. Rumah dibangun dengan bahan seadanya, harga semurah-murahnya namun bisa menampilkan bangunan tidak apa adanya," ujar Pradipto, pria kelahiran Wonosari 56 tahun lalu ini.
Sekilas dari kejauhan Omah Kebon tidak terlalu istimewa. Saat memasuk halaman, omah kebon dikelilingi pepohonan dengan suasana khas pedesaan. Ukuran rumah memang tidak terlalu besar, namun dinding mosaik kaca yang menjulang tinggi menampilkan kesan artistik, natural, dan unik dari rumah buatan Pradipto ini.
Omah Kebon, bagi pradipto tidak sebatas tenpat tinggal. Namun dibangun dengan konsep untuk hidup bersama dengan alam sekitar. Menurut penggagasnya esensi keberadaan rumah sebagai tempat besar untuk tinggal, berserah diri, bersyukur, tempat menenteramkan, tempat yang aman. "Omah kebon memang diidesain mengapresiasi dan menginovasi konsep tradisional Jawa. Rumah merupakan perwujudan dari kepercayaan masyarakat Jawa tentang konsep makrokosmis dan mikrokosmos," kata penyandang gelar doktor arsitektur dari Universitas Stuttgart, Jerman, ini.