Sapu Tangan Batik Kawung Pondok Kopi, Oleh-oleh Baru Dari Jakarta
Bicara soal buah tangan khas Jakarta, tidak melulu soal gantungan kunci ondel-ondel atau kaus bergambar Monas.
Penulis: Daniel Ngantung
Editor: Anita K Wardhani
Laporan Wartawan Tribunnews.com,Daniel Ngantung
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bicara soal buah tangan khas Jakarta, tidak melulu soal gantungan kunci ondel-ondel atau kaus bergambar Monas. Di Jakarta Souvenir Design Award (JSDA) 2014, buah tangan khas Jakarta muncul dengan rupa yang jauh dari biasanya.
Di tahun kelimanya itu, ajang ini dimenangkan oleh Tri Setyohadi, seorang pemuda perajin batik yang berbasis di Solo, Jawa Tengah.
Tri membuat pilihan sapu tangan bermotif batik. Bukan batik biasa yang sering ditemui di pasaran. Pria kelahiran Banjarmasin, 19 Agustus 1983, ini menamakan batik tersebut Batik Kawung Pondok Kopi.
Pondok kopi? Bagi warga Jakarta nama tersebut memang tidak asing mengingat itu merupakan nama sebuah kawasan di Jakarta Timur.
Setelah melakukan riset selama sebulan, Tri menenukan kawasan tersebut dulunya merupakan tempat tinggal Gubernur Jendral VOC William van Outhoorn.
Di halaman rumahnya, William melakukan uji coba penanaman bibit kopi atas perintah Walikota Amsterdam Nicholas Witson. Oleh sebabnya, kawasan tersebut dinamakan Pondok Kopi.
"Dari sini pulalah istilah kopi a Cup of Java berasal," terang Tri saat ditemui usai acara pemberian penghargaan yang digelar di Senayan City beberapa waktu lalu.
Melihat dalamnya makna Pondok Kopi, Tri pun tak perlu berpikir dua kali untuk menjadikan Pondok Kopi sebagai inspirasinya. Dari kombinasi talenta Tri talenta membatik dan konsep "Pondok Kopi" itu, lahirlah Batik Kawung Pondok Kopi.
Disebut kawung pula karena motif tersebut merupakan bagian dari pengembangan Tri terhadap motif kawung yang diciptakan Sultan Mataram.
"Motif Kawung Pondok Kopi ini memberi makna yang lebih dalam yaitu memberi ajaran kepada generasi ke depan harus seperti kopi, meski buahnya kecil, hitam, namun bisa mengharumkan dan menggairahkan untuk menuju kesuksesan," terang pria lulusan Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung ini.
Tri menciptakan purwarupa yang terdiri 15 sapu tangan dengan nuansa dan warna yang berbeda-beda. Mulai dari bermotif besar hingga kecil, lalu dari warna gelap hingga terang.
"Khusus purwarupa saya memakai teknik cetak digital. Namun ke depannya disesuaikan permintaannya nanti," ujar Tri yang selama ini juga melayani permintaan membuat seragam batik dari berbagai hotel dan restoran.
Ketua Dewan Juri JSDA 2014 Pincky Sudarman, mengatakan bukan masalah besar bila pada akhirnya Tri memilih
"Asalkan diberi informasi pada kemasan bahwa itu merupakan produk cetak digital," ujarnya.
Untuk selanjutnya, Tri akan kembali mendapatkan "pemolesan" sebelum akhirnya diproduksi massal dengan bantuan dana dari Dekranasda DKI Jakarta.
JSDA merupakan ajang tahunan yang digelar untuk menemukan desain souvenir khas Jakarta serta mengembangkan talenta dan kekreativitasan masyarakat Jakarta dan sekitarnya.
Digelar dalam rangka ulang tahun Jakarta, JSDA tahun ini mengangkat tema ragam motif batik Betawi. Ada empat kategori yang dilombakan yaitu umum dan profesional, mahasiswa, UKM binaan, dan desain batik Betawi.
Selain Pincky, adapun dewan juri terdiri dari kolektor seni Hudy Suharnoko, aktris Maudy Koesnaedi, desainer interior Ary Juwono, desainer mode anggota APPMI Jeny Tjahjawati, dan pemenang Best Design JSDA 2013 Selvie Lie.