Sebuah Penelitian Menyebutkan Orang Baik Beresiko Tinggi Alami Kebangkrutan
Menurut penelitian, orang baik cenderung memiliki masalah keuangan dan nilai kredit rendah.
Editor: Fathul Amanah
TRIBUNNEWS.COM - Sebuah penelitian menyebutkan orang baik beresiko tinggi mengalami kebangkrutan.
Selama ini kita selalu dinasihati untuk menjadi orang baik, ramah, suka berbagi, dan lainnya.
Kini riset menemukan sisi kurang menguntungkan menjadi orang baik.
Menurut penelitian, orang baik cenderung memiliki masalah keuangan dan nilai kredit rendah.
Bahkan, mereka berisiko tinggi untuk mengalami kebangkrutan.
Menurut periset, ini terjadi karena orang baik biasanya tidak menghargai uang seperti rekan mereka yang memiliki sikap kurang menyenangkan.
Baca: Video Ubur-ubur Muncul di Permukaan Pantai Ancol, Pihak Manajemen Masih Tunggu Hasil Penelitian
Orang-orang baik cenderung suka berbagi dan menganggap uang bukan sebagai hal yang utama sehingga keuangan mereka umumnya lebih buruk.
Joe Gladstone, salah satu periset, mengatakan, dalam riset, keramahan terkait dengan indikator kesulitan keuangan karena mereka tidak hemat (baca: tidak pelit), dan tidak gigih menabung.
"Hubungan ini tampaknya didorong oleh fakta bahwa orang-orang yang menyenangkan kurang peduli tentang uang, dan karena itu berisiko lebih tinggi mengalami kesalahan dalam keuangan," ucapnya.
Sebagai contoh, kata Gladstone, orang-orang baik lebih kecil kemungkinannya untuk memeriksa laporan keuangan mereka dan mempertahankan anggaran yang bertanggung jawab.
Sebaliknya, orang-orang yang dinilai "jahat", menurut Gladstone, memiliki sikap kompetitif dan lebih pelit sehingga hasil keuangannya lebih baik.
Sandra Matz, selaku pemimpin riset, mengatakan, riset yang telah diterbitkan dalam Journal of Personality and Social Psychology ini dilakukan untuk memahami mengapa orang-orang yang baik tampaknya selalu bernasib malang.
"Kami tertarik untuk memahami apakah memiliki kepribadian yang baik dan hangat, apa yang dikatakan oleh akademisi dalam penelitian kepribadian sebagai kesetujuan, terkait dengan hasil keuangan negatif," katanya.
Baca: 12 Ilmuan Lakukan Penelitian dan Pemetaan ke Sulteng
Peneliti juga ingin menentukan apakah kesulitan keuangan yang cenderung menyerang orang baik, didorong oleh gaya negosiasi "kooperatif" mereka atau penilaian rendah mereka pada keuangan.
Para peneliti menganalisis informasi lebih dari 3 juta orang menggunakan dua panel online, survei nasional, data rekening bank, dan data geografis.
"Penelitian sebelumnya menunjukkan keramahan dikaitkan dengan skor kredit dan pendapatan yang lebih rendah," kata Matz.
Menurutnya, periset ingin melihat apakah asosiasi itu berlaku untuk indikator keuangan.
Oleh karena itu, periset juga ingin melihat mengapa orang-orang yang baik tampaknya tidak bisa menjadi sangat kaya.
Penelitian sebelumnya juga menemukan hubungan antara kepribadian neurotik dan utang yang lebih tinggi ditambah dengan peningkatan belanja kompulsif.
Sementara itu, pribadi yang teliti atau berhati-hati lebih mungkin untuk menghemat uang dan menghindari utang.
Namun, periset menggarisbawahi bahwa masalah keuangan tidak mempengaruhi semua orang baik secara setara.
Pendapatan tetap menjadi prediktor kunci mengenai kesehatan finansial seseorang.
"Hubungan antara kebaikan dan kesulitan keuangan lebih banyak ditemukan untuk individu berpenghasilan rendah, yang tidak memiliki sarana keuangan untuk mengompensasi dampak merugikan dari kepribadian mereka yang menyenangkan," kata Gladstone.
Baca: Sudjiwo Tedjo Ungkap Penelitian Doktor di London: Ternyata Ahok Jatuh Bukan Karena Sentimen Agama
Berdasarkan data dari riset terkait yang meneliti orang di atas 25 tahun, peneliti juga menemukan tingkat kebaikan atau sikap menyenangkan seseorang di masa kecil bisa menjadi prediktor untuk masalah keuangan di masa dewasa.
"Hasil riset membantu kami untuk memahami satu faktor potensial yang mendasari kesulitan keuangan, yang dapat memiliki implikasi serius bagi kesejahteraan masyarakat," kata Matz.
Menjadi baik memang berdampak pada keuangan, terutama bagi mereka yang tidak memiliki sarana untuk mengimbangi kepribadian mereka.
Para peneliti berharap pekerjaan mereka dapat memiliki aplikasi praktis dengan meningkatkan kesadaran tentang tanggung jawab keuangan untuk orang-orang baik yang mungkin rentan terhadap masalah keuangan.
"Jika kita memahami siapa yang lebih mungkin menderita masalah keuangan maka kita mungkin tahu siapa yang akan diberi bantuan," kata Gladstone.
Ia juga mengatakan program pemerintah, amal atau pendidikan bisa menjadi solusi untuk membantu mengatasi masalah ini.
Walau begitu, tidak disarankan untuk berhenti menjadi orang baik.
Hanya saja lebih berhati-hatilah dalam menggunakan uang.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Orang Baik Mudah Bangkrut, Percaya?"