Arist Merdeka Sirait: Lingkungan Rumah Melalui Orang Tua Harus Dapat Melindungi Anak
Arist Merdeka Sirait, meminta kepada semua pihak mulai dari orang tua, keluarga, lembaga pendidikan, masyarakat bersama pemerintah bentengi anak-anak
Editor: Toni Bramantoro
“Karena kurikulum pendidikan kita sekarang ini tidak partisipatif dan tidak dialogis. Karena dia kecenderungan nya transfer knowledge, seolah-olah knowledge para pengajar, kurikulum itu adalah hal yang paling utama. Padahal dialog pada anak dan mendengarkan pendapat anak itu sangat penting. Untuk itu perlu adanya pengembangan kurikulum di lembaga pendidikan yang bersifat dialogis dan partisipatif. Ini agar tidak ada lagi guru yang hanya sekedar transfer knowledgenya kepada anak-anak. Tetapi guru harus berfungsi bagaimana sebagai mediator dan fasilitator terhadap apa yang dipikirkan anak-anak menyangkut tentang dirinya termasuk tentang pendidikan dan keilmuan akademik,” jelasnya.
Selain itu menurutnya, masyarakat di lingkungan anak juga harus mengambil peran dalam membentengi anak dari paham-paham kekerasan. Masyarakat harus bisa membangun budaya ketimuran kita yang selama ini saling memperhatikan.
Oleh karena itu Gerakan Perlindungan Anak yang disebutnya sebagai Gerakan Perlindungan Anak Sekampung dan Sedesa harus dibangkitkan. Dalam artian masyarakat diminta untuk ikut membangun budaya ketimuran kita yang peduli dengan motto ‘Anakmu adalah Anakku’ atau ‘Cucumu adalah Cucuku’.
“Dengan menggunakan motto seperti itu sehingga dengan apa yang terjadi di lingkungannya, di desanya itu adalah tanggung jawab bersama. Dengan tidak membiarkan itu adalah tanggung jawab masing-masing keluarga. Jadi harus sinkron kalau rumah bisa ramah terhadap anak, tentunya lingkungan juga harus ramah terhadap anak,” kata pria kelahiran Pematang Siantar, 17 Agustus 1960 ini.
Ini menurutnya agar rumah dan lingkungan soSial juga harus selalu terus beribadah sesuai kaidah agama yang telah ada.
“Bukan berarti menciptakan rumah rumah ibadah, bukan seperti itu. Tetapi semangat spiritual itu harus terus dibangun dalam rangka membentengi anak dari paham-paham radikalisme atau paham paham atau ujaran ujaran kebencian itu,” kata Arist.
Semangat itu harus dibangun karena menurutnya selama ini budaya yang santun terhadap sekitarnya sudah banyak ditinggalkan masyarakat. Ini bisa terjadi karena semua orang sekarang ini kecenderungannya memanfaatkan teknologi. Karena dengan kemajuan teknologi sekarang ini solidaritas maupun komunikasi seseorang secara langsung sudah berkurang.
“Kalau jaman dahulu teknologi belum berkembang, tidak ada smartphone dan sebagainya tentunya masih bisa berkomunikasi secara verbal.Sekarang banyak komunikasi yang dibangun oleh orang tua, oleh anak-anak atau lingkungannya melalui media sosial, yang tidak lagi verbal. Tentunya ini mengurangi kedekatan dan solidaritas maupun pemahaman ataupun kesetiakawanan terhadap sesamanya,” ujelasnya.
Untuk itu di Hari Anak Nasional (HAN) 2019 dirinya juga meminta kepada pemerintah dengan jargon atau temanya yang disuguhkan kepada masyarakat harus konsisten.
Dimana pada tema besar HAN kali ini adalah Menggugah peran Keluarga menjadi garda terdepan dalam Melindungi Anak agar menjadi anak yang Gembira. Dimana tema kecil itu kyakni Kita Anak Indonesia, kita Bergembira.
“Nyatanya anak kita belum bergembira, masih banyak anak kita yang air matanya perlu dihapus dan dibuat gembira. Mengapa? Karena kejahatan terhadap anak-anak termasuk penanaman paham radikalisme ataupun ujaran kebencian, persukusi, melibatkan anak dalam kepentingan orang-orang dewasa yang tidak berhubungan dengan anak itu juga merupakan suatu tindakan kekerasan. Itulah yang harus dilihat,” urainya.
Untuk itu dirinya mengajak setiap masyarakat untuk menanamkan HAN ini secara terus menerus di.lingkungannya
“Jangan sekedar ceremony, tetapi harus konsisten untuk menanamkan Hari Anak Nasional itu di rumah, lingkungan kita sendiri dan sebagainya. Karena hal itu merupakan tanggung jawab bersama,” katanya mengakhiri