4 Upaya Cegah Pernikahan Anak
Pernikahan anak atau pernikahan dini serupa gunung es. Terlihat sedikit, namun pada praktiknya memiliki angka yang cukup besar.
Editor: Willem Jonata
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pernikahan anak atau pernikahan dini serupa gunung es. Terlihat sedikit, namun pada praktiknya memiliki angka yang cukup besar di kalangan masyarakat.
Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah mengungkapkan selama pandemi, mengalami kenaikan cukup signifikan.
Padahal pernikahan anak menyalahi undang-undang sekaligus merampas hak anak, di antaranya bermain, belajar, mendapatkan pendidikan yang layak dan lainnya.
Baca juga: Kemenkes: Cegah Anemia dengan Menjaga Asupan Makanan Bergizi
Oleh karena itu ada beberapa upaya yang perlu dilakukan untuk melakukan pencegahan pernikahan pada anak.
Hal ini dijelaskan dalam webinar Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia, Sabtu (27/2/201)
Setidaknya ada empat cara yang bisa dilakukan menurut pemaparan Zulkamal dari Sanggar Anak Harapan.
"Dari Sanggar Anak Harapan sendiri sudah diterapkan sejak 2010. Meski butuh proses panjang, dampak penurunan pernikahan pada anak cukup terlihat," ungkapnya, Sabtu (27/2/2021)
Pertama adalah pendidikan yang berbasis pengenalan hak-hak pada anak. Pendekatan ini bisa dilakukan dari hal yang termudah lebih dahulu.
Misalnya perlu dijelaskan jika anak punya hak untuk bermain serta hak belajar. Tidak untuk dihapal, namun untuk dipahami agar bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua adalah edukasi perihal pilihan dan konsekuensi. Anak perlu tahu dampak dari sesuatu yang mereka pilih. Misalnya ketika anak belajar, orang dewasa menjelaskan apa yang bisa mereka dapatkan.
Kalau memilih makan sembarangan akan sakit perut dan sebagainya.
Begitu pula untuk pernikahan. Anak yang diberi edukasi ini akan lebih bijak mempertimbangkan apa yang terjadi ketika melakukan pernikahan tanpa persiapan yang matang.
Langkah ketiga yaitu membuat ruang diskusi. Zulkamal memandang bahwa anak kerap terjebak pernikahan karena hilangnya ruang diskusi dengan orangtua.
Anak perlu memahami bahwa dia bisa untuk memilih dan menolak. Sehingga anak mampu memberikan penolakan jika dipaksa untuk menikah dari pihak keluarga. Anak juga bisa menyampaikan pendapat terkait penolakan tersebut.
Terakhir, yaitu pengambilan keputusan praktis yang bertanggungjawab. Stigma atau tradisi pada lingkungan tidak selalu tepat.
Oleh karena itu ketika anak diberi peluang untuk memilih, ada orangtua atau masyarakat yang mendampingi dan memberikan dukungan.
"Diperlukan solusi praktis karena merealisasikan pilihan tidak semudah saat mengemukakannya," katanya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.