Tren Spirit Doll dari Kacamata Psikologi, Wajarkah Jika Orang Dewasa Memilikinya?
Fenomena adopsi boneka arwah atau spirit doll ramai di kalangan pesohor tanah air akhir-akhir ini.
Penulis: Rina Ayu Panca Rini
Editor: Anita K Wardhani
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Fenomena adopsi boneka arwah atau spirit doll ramai di kalangan pesohor tanah air akhir-akhir ini.
Bagaimana tren ini dilihat dari kacamata psikologi. Wajarkah seseorang memiliki spirit doll, benarkah boneka dapat menjadi teman, dan apa yang harus dilakukan orang terdekat, berikut penjelasannya.
"Fenomena adopsi spirit doll bisa dilihat dari sudut pandang kemampuan psikologis yang dimiliki seseorang berdasarkan proses tumbuh kembangnya," ujar Dosen Departemen Psikologi Sosial Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran Dr. Retno Hanggarani Ninin, M.Psi, dikutip dari siaran pers, Sabtu (8/1/2022).
Baca juga: Menggiurkan, Akun TikTok Ini Tawarkan Pekerjaan Jadi Babysitter Spirit Doll dengan Gaji Puluhan Juta
Baca juga: Heboh Boneka Sprit Doll, Ivan Gunawan Anggap Itu Bagian dari Kegilaannya sebagai Artis yang Kreatif
Ninin mengatakan, setiap orang terlahir dengan kapasitas psikologis yang memungkinkan dia mampu bertahan menghadapi situasi atau persoalan apa pun.
Kapasitas psikologis tersebut ditumbuhkan dan dikembangkan melalui pola asuh, pendidikan formal, serta pendidikan sosial, yang membuat kemampuannya makin mumpuni dalam menghadapi beragam persoalan ketika dewasa.
“Kalau proses itu benar dan baik, dia akan tumbuh dengan kemampuan yang cukup untuk menghadapi persoalan hidupnya,” kata Ninin.
Namun, tidak semua orang memiliki pengalaman positif dalam proses tumbuh kembangnya. Ada beragam pengalaman pola asuh, pendidikan, dan relasi tertentu yang bisa membuat kemampuan psikologis tadi menjadi kurang mumpuni atau bahkan tidak dimiliki.
Ketidakmampuan untuk bertahan tersebut mendorong seseorang memilih cara-cara tertentu untuk menguatkan.
Salah satunya menggunakan alat bantu seperti spirit doll.
“Pada dasarnya, jika seseorang dalam tumbuh kembangnya mengalami proses yang positif dan ideal, maka hal-hal itu tidak diperlukan,” imbuhnya.
Wajar atau Tidak Wajar?
Ninin memaparkan, batas kewajaran terhadap fenomena ini bergantung pada peran yang diletakkan seseorang (pemiliknya) pada boneka tersebut.
Jika anak-anak yang bermain boneka dan memperlakukannya layaknya temannya, itu merupakan sebuah kewajaran dari perspektif tumbuh kembang, karena faktor usianya.