Syukuran Bentara Budaya Jakarta, Pameran Ajur Ajer Digelar
Momen syukuran ulang tahun ke-40 Bentara Budaya Jakarta (BBJ), akan digelar Pameran "Ajur Ajer" dengan menampilkan karya 26 perupa.
Editor: Anita K Wardhani
Sepeninggal suaminya, perempuan itu menjual beberapa lukisan koleksinya. Itu terjadi karena lukisan-lukisan itu dianggap sebagai ’belegging’, tabungan, alias investasi.
"Kami harap sangat agar kebiasaan membeli lukisan sebagai ’belegging’ (investasi) akan berakar pula di Tanah Air kita. Mengapa kami berharap demikian? Bilang terus terang: agar para pelukis kita bisa hidup dan agar mereka dapat turut mengharumkan nama Indonesia di seluruh dunia,” catat Ojong.
Semangat serupa juga dimiliki Jakob Oetama. Selain mencintai karya seni, dia juga punya perhatian besar pada pengembangan seni budaya di Indonesia.
Mengacu pendapat mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Inggris St John Stevas, Jakob pernah mengungkapkan, bahwa kesenian itu mengatasi waktu, lebih langgeng dari manusia dan karena itu kesenian menjadi saksi sejarah. Kesenian juga merupakan cerminan kehidupan.
Di depan karya seni, orang diajak berefleksi dan menangkap isyarat masa depan (St Sularto, "Syukur Tiada Akhir: Jejak Langkah Jakob Oetama," 2011).
Seiring pertumbuhan bisnis Kompas Gramedia yang kian maju, kian banyak pula koleksi karya seni di perusahaan ini, seperti lukisan, patung, keramik, dan benda-benda antik.
Untuk mewadahi koleksi tersebut, sempat didirikan Gramedia Art Gallery di daerah Pintu Air, Jakarta.
Ini menjadi cikal bakal pendirian lembaga kebudayaan Kompas Gramedia yang lebih permanen.
Sepeninggal PK Ojong, tahun 1980, Jakob Oetama memimpin Kompas Gramedia sehingga semakin berkembang.
Visi untuk mendirikan lembaga kebudayaan diwujudkan dengan meresmikan Bentara Budaya di Yogyakarta pada 26 September 1982. Peresmian ditandai dengan pameran lukisan tradisional Citra Waluya dari Solo dan Sastra Gambar dari Muntilan, Jawa Tengah.
Lembaga ini awalnya menempati bangunan bekas Toko Gramedia di Jalan Jenderal Sudirman Nomor 56, Yogyakarta.
Tahun 1993, Bentara kemudian bergeser ke Jalan Suroto Nomor 2, Kotabaru, Gondokusuman, di kota yang sama, sampai sekarang.
Empat tahun kemudian, tepatnya 26 Juni 1986, lahir Bentara Budaya Jakarta.
Lembaga ini bermarkas di rumah kayu Kudus yang dilengkapi dua galeri sisi serta gedung serbaguna yang dirancang oleh arsitek Romo Mangunwijaya.
Lokasinya di Palmerah Selatan Nomor 17, Jakarta, di lingkungan perkantoran Kompas Gramedia.
Menteri Penerangan Harmoko dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan hadir meresmikannya. Pada momen itu, Jakob Oetama mengungkapkan, rumah kayu jati tersebut diboyong dari Kudus, Jawa Tengah, dipugar, dan didirikan kembali di Jakarta ("Peresmian Gedung Bentara Budaya Jakarta: Peran swasta memang diperlukan", Kompas, 27 Juni 1986).
Pada Januari 2009, Bentara Budaya juga mengelola Gedung Balai Soedjatmoko di Solo, Jawa Tengah. Menyusul pada September 2009, diresmikan Bentara Budaya Bali di kawasan Ketewel, Gianyar, Bali.
Sesuai semangat Jakob, kehadiran Bentara Budaya di beberapa kota itu diharapkan dapat menambah infrastruktur seni budaya di Indonesia sambil meningkatkan apresiasi masyarakat luas. Ini menjadi bagian dari upaya mempercepat tumbuhnya kehidupan seni budaya yang sehat (Efix Mulyadi, "Langkah-langkah Budaya" dalam Kompas Menulis dari Dalam", 2007).
Kenapa dinamakan Bentara? Nama "Bentara" dipilih karena Kompas Gramedia memang mempunyai sebuah yayasan bernama Bentara Rakyat yang dibentuk oleh PK Ojong dan Jakob Oetama tahun 1960-an.
Karena lembaga baru ini bergerak dalam bidang Kebudayaan, maka jadilah nama Bentara Budaya untuk lembaga kebudayaan milik Kompas Gramedia ini (Hermanu, "Pengantar Kurator Pameran Audio Lawasan, Pelantang”, 2022).
"Bentara" berarti utusan. Saat dipadukan dengan kata budaya, dapat dimaknai sebagai utusan budaya atau semacam lembaga yang menyuarakan aspirasi kebudayaan.
Saat didirikan, Bentara mengusung surya sengkalan (penanda waktu) "Manembah Hangesti Songing Budi".