Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Lifestyle

Perajin Didominasi Lansia, Christian Saputra: Tradisi Batik Tulis Nyaris Mati

Untuk memproduksi satu kain batik tulis saja bisa memakan waktu dua sampai enam bulan tergantung tingkat kesulitan.

Penulis: Willem Jonata
Editor: Eko Sutriyanto
zoom-in Perajin Didominasi Lansia, Christian Saputra: Tradisi Batik Tulis Nyaris Mati
dok Christian Saputra
Ilustrasi batik tulis 

Kemudian dilanjutkan dengan ngelir (mencelupkan kain ke dalam ember berisi perwarna), nglorod (melunturkan malam pada kain), ngrentesi (memberi titik atau garis di sekitar pola), nyumri (menjemur kain hingga kering), dan terakhir melunturkan seluruh malam di kain batik dengan merendam di air mendidih.

Karenanya, dibutuhkan kesabaran dan ketelitian untuk menghasilkan produk batik tulis yang berkualitas. Hal inilah yang jarang ditemui pada generasi muda.

Di sisi lain, para pengrajin batik di daerah juga masih kurang mendapatkan apresiasi, baik dari segi pendapatan maupun penghargaan untuk karya yang mereka ciptakan.

Baca juga: Hari Batik Nasional, Tokopedia Bagi 5 Inspirasi Baju Batik Wanita Modern

"Sudah proses produksinya menyita waktu, pendapatan mereka juga bisa dibilang tidak setimpal dengan waktu yang mereka habiskan. Jadi kalau tidak ada passion di bidang seni batik, wajar saja mereka memilih pekerjaan yang lain," ungkapnya.

Founder Batik Concept lainnya Juan Sidharta dan Gisella Budiono mengatakan, ada beberapa cara untuk membuat industri batik kembali bergairah dan diminati generasi muda.

Cara paling sederhana adalah dengan menggencarkan edukasi, promosi, serta meregenasi demand dari batik itu sendiri.

Edukasi dan promosi harus selalu digalakkan agar generasi muda semakin paham nilai-nilai dari warisan budaya Indonesia. Peran pemerintah di sini pun sangat penting untuk memfasilitasi sekaligus mendukung event-event bertema batik atau wastra Nusantara.

Berita Rekomendasi

“Kalau anak muda sering terekspos dengan dunia batik, makin lama mereka bisa mengerti valuenya, dan mengerti betapa rumitnya membatik. Itulah sebabnya diperlukan edukasi dan promosi karena semua bersinergi dalam creating a demand. A demand for batik. Ketika demand naik otomatis upah pengrajin batik bisa lebih tinggi juga, dan ini berkesinambungan dengan kesejahteraan para pengrajin batik,” ujar Juan Sidharta.

“Kami sendiri sudah berulang kali meluncurkan campaign agar anak-anak muda tertarik mengenakan batik dalam kegiatan sehari-hari mereka. Jika dilakukan secara konsisten dan mengikuti perkembangan zaman, tidak menutup kemungkinan regenerasi pengrajin batik akan kembali berjalan,” tambahnya.

Selain menggencarkan edukasi dan promosi, Batik Concept telah melakukan sejumlah inovasi menarik dalam setiap koleksinya.

Misalnya, mulai dari merilis koleksi batik bermotif kontemporer, serta bereksperimen memainkan warna-warna yang lebih berani untuk menanggalkan kesan kolot dan kuno.

Meskipun harga batik tulis cenderung lebih mahal dibandingkan batik cap atau print, Gisella mengatakan, ada alasan tersendiri mengapa ia dan kedua partnernya memilih produk batik tulis sebagai lini bisnis utama mereka.

“Kami memang lebih memilih batik tulis karena teknik membatik itulah yang kami mau lestarikan. Jangan sampai terus menjadi dying tradition. Di samping itu, kami juga mau mendukung home industry khususnya para pengrajin yang menggantungkan hidupnya dari membatik,” ungkap Gisella.

Terlepas dari itu semua, ia berharap dan selalu mendorong anak-anak muda untuk bangga mengenakan batik.

"Any batik is ok, even better if we can preserve our cultural inheritance by promoting batik tulis. Kenapa saya bilang any batik is ok, karena memang batik tulis itu mahal, tidak semua orang mau sisihkan budget untuk beli batik tulis,” demikian tandas Gisella.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
×

Ads you may like.

© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas