Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Lifestyle

Fenomena Kidsfluencer seperti Cipung dan Shabira, Apakah Termasuk Eksploitasi Anak?

Kidsfluencer tentunya bermula dari orang tua yang mengontenkan anaknya, baik dengan sengaja atau tidak, dan dengan tujuan tertentu atau tidak. 

Penulis: Rina Ayu Panca Rini
Editor: Willem Jonata
zoom-in Fenomena Kidsfluencer seperti Cipung dan Shabira, Apakah Termasuk Eksploitasi Anak?
Instagram @raffinagita1717
Raffi Ahamad dan Rayyanza alias 'Cipung' - 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA - Nama Rayyanza atau yang dikenal Cipung acap jadi sorotan. Setiap gerak geriknya selalu mencuri perhatian netizen.

Selain itu nama Shabira Alula atau Lala juga kerap membuat netizen berdecak kagum akan kemampuan berkomunikasinya dengan bahasa Indonesia yang baku dihadapan publik.

Keduanya tampil eksis di era digital masa kini, hingga muncul istilah kidsfluencer. 

Kidsfluencer tentunya bermula dari orang tua yang mengontenkan anaknya, baik dengan sengaja atau tidak, dan dengan tujuan tertentu atau tidak. 

Namun di balik itu, kehadiran anak di dunia hiburan sebagai kidsfluencer memicu kekhawatiran potensi eksploitasi anak lewat konten-konten yang disajikan.

Lalu, benarkan anak-anak yang sering dibuarkan konten oleh orangtuanya termasuk bentuk eksploitasi anak? 

BERITA TERKAIT

Pakar Psikologi Anak Universitas Airlangga (UNAIR) Dr Nur Ainy Fardana N MSi menuturkan, eksploitasi anak berarti menghilangkan hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh anak. 

Baca juga: Kesehatan Rayyanza Drop Disebut karena Syuting Sahur, Raffi Ahmad Klarifikasi

Karenanya, perlu dilihat terlebih dahulu bagaimana posisi anak.

“Eksploitasi atau tidak, perlu dipertimbangkan apakah anak melakukannya dengan perasaan tertekan dan tidak nyaman, atau sebaliknya? Yakni anak melakukan dengan senang hati,” ungkapnya seperti dikutip dalam laman Unair.ac.id, Rabu (27/3/2024).

Lebih lanjut, Dr Nur Ainy membeberkan dampak psikologis dan emosional yang dialami anak jika kehidupan anak sehari-hari mereka terus menerus direkam dengan dalih kenang-kenangan. 

Mengontenkan keseharian anak seperti saat anak bermain, makan, dan aktivitas lainnya, justru membuat kaburnya perlindungan privasi anak. Terlebih, anak juga menjadi lebih sering terekspos kamera.

Dr Nur Ainy menyebut, eksistensi anak-anak di dunia hiburan tidak akan menjadi masalah jika bertujuan mengembangkan minat bakat anak dan menumbuhkan kreativitas anak.

Namun, harus diingat kondisi psikologis anak harus tetap menjadi perhatian utama. 

“Apabila anak terlibat dalam dunia entertaiment, harus tetap diperlakukan dengan baik, tanpa menghambat tumbuh kembang fisik, mental, sosial, dan intelektualnya,” ujarnya. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di

Wiki Terkait

© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas