Pakar Sebut Sistem Proporsional Terbuka di Pemilu Biayanya Mahal dan Menimbulkan Keresahan Sosial
Terdapat dua jenis sistem di dalam sistem proporsional yaitu sistem proporsional terbuka dan sistem proporsional tertutup.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Udayana, Jimmy Z. Usfunan, menyampaikan bahwa sistem proporsional terbuka dalam pemilihan calon legislatif setidaknya menimbulkan beberapa persoalan yang memicu keresahan sosial di masyarakat.
Salah satu keresahan sosial tersebut terjadi lantaran tingginya surat suara tidak sah.
Bahkan pada 2019 lalu tercatat 17.503.953 suara tidak sah untuk Pemilu DPR.
“Dengan fenomena ini, maka akan memunculkan sikap apatisme masyarakat nantinya dalam memilih pada Pemilu tahun 2024 yang akan datang, karena khawatir sudah menggunakan hak pilih, namun suaranya menjadi suara yang terbuang," ujar Jimmy ketika dihubungi oleh media, Rabu (4/1/2023).
Baca juga: PBNU soal Sistem Proporsional Tertutup pada Pemilu 2024: Kami Belum Ambil Sikap
Tidak hanya itu, menurutnya, dengan modal besar yang dikeluarkan masing-masing caleg akan meningkatkan ketegangan kompetisi, bahkan berujung konflik dengan teman sendiri pada satu partai.
Seperti yang terjadi pada 2019 lalu, adanya penganiayaan terhadap sesama calon partai, dalam pemilihan anggota DPR RI satu dapil di Provinsi Jawa Timur, begitu juga penganiayaan caleg di Kabupaten Tanah Bumbu, yang juga satu partai.
“Bayangkan saja, jika konflik itu melibatkan para pendukung, bukankah akan menimbulkan konflik sosial yang besar di masyarakat? Sementara saat ini, Indonesia memiliki 514 kabupaten/Kota dan 38 Provinsi, tentunya ini bisa jadi masalah besar nantinya," lanjut Jimmy.
Keresahan sosial lainnya akibat sistem proporsional terbuka ini, yaitu banyak lagi calon legislatif yang gagal mengalami depresi, gangguan jiwa, bahkan bunuh diri seperti yang terjadi pada 2019.
“Apalagi besarnya modal yang digunakan, dengan asumsi yang besar menjadi pemenang, sementara caleg yang lain juga berani melakukan adu modal, akibatnya cost politic menjadi makin besar, menjadikan para calon akhirnya rela berutang atau bahkan menggadaikan rumah dan barang-barang berharga lainnya demi kemenangan," kata Jimmy.
Secara faktual jika ditelusuri, menurut Jimmy, banyak anggota DPR RI serta anggota dewan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota menggadaikan SK jabatannya ke bank pascadilantik.
“Coba saja dikonfirmasi para anggota DPR dan DPRD, hal ini dilakukan demi membayar utang dari biaya yang telah dikeluarkan," tambahnya.
Sedangkan bagi pemilih, menurut Jimmy, pemilih akan kembali kebingungan dalam melakukan pencoblosan, seperti pada 2019 lalu.
Sebab dengan adaya lima surat suara dalam waktu yang bersamaan, yakni Surat Suara Presiden/Wakil Presiden, Surat Suara Anggota DPR, Surat Suara Anggota DPD, Surat Suara Anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
“Belum lagi masing-masing surat suara calon DPR atau DPRD di Provinsi/Kab/Kota berisikan nama-nama calon yang begitu banyak, akhirnya pemilih tidak menggunakan rasionalitasnya dalam memilih, bisa saja. Akhirnya melihat pada foto atau karena popular, serta tidak mungkin jika pemilih nantinya bertindak yang mengakibatkan surat suara itu tidak sah,” ujar Jimmy Usfunan.