Politikus PKB Yakin MK Tak Akan Kabulkan Judicial Review Sistem Proporsional Terbuka
Luqman Hakim meyakini MK tak akan mengabulkan judicial review terhadap Pasal 420 UU 7/2017 tentang Pemilu berkaitan sistem proporsional terbuka.
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota DPR RI Fraksi PKB Luqman Hakim meyakini Makhamah Konstitusi (MK) tak akan mengabulkan judicial review terhadap Pasal 420 UU 7/2017 tentang Pemilu berkaitan dengan sistem proporsional terbuka.
"Saya haqqul yakin, MK tidak akan mengabulkan sebagian atau keseluruhan dari petitum yang diajukan para penggugat," kata Luqman Hakim, dalam keterangannya, Kamis (5/1/2023).
Luqman Hakim membeberkan alasan kenapa dirinya berkeyakinan MK akan menolak gugatan tersebut.
Luqman Hakim menjelaskan, pada Pasal 420 UU Pemilu khususnya huruf (d) ini mengatur tatacara konversi suara menjadi kursi partai politik di satu daerah pemilihan dengan metode Sainte Lague.
Yakni suara sah yang diperoleh setiap partai dibagi dengan bilangan ganjil mulai dari 1, 3, 5, 7 dan seterusnya.
Perhitungan ini untuk menentukan apakah partai politik berhak mendapatkan alokasi kursi parlemen dan berapa jumlah kursi yang berhak diperoleh.
"Oleh karena itu, tentu berhak atau tidaknya partai politik mendapatkan kursi parlemen didasarkan pada nilai terbanyak hasil suara sah partai politik yang telah dibagi dengan angka 1, 3, 5, 7 dan seterusnya. Bukan didasarkan pada nomor urut partai politik," ucapnya.
"Di sini, terlihat para penggugat mengalami lompatan logika, terburu-buru, tidak cermat, tidak memahami alur pemilu sehingga mengalami kekacauan pemahaman dari substansi aturan pembagian kursi kepada partai politik tiba-tiba lompat kepada siapa calon yang berhak menempati kursi tersebut," lanjutnya.
Baca juga: Pakar Sebut Sistem Proporsional Terbuka di Pemilu Biayanya Mahal dan Menimbulkan Keresahan Sosial
Luqman Hakim menilai, menghapus huruf (d) Pasal 420 ini, akan menyebabkan kebuntuan dan kekacauan ketika masuk tahapan pembagian kursi bagi peserta pemilu.
Sebab tidak ada lagi aturan yang menjadi pedoman bagaimana membagi kursi parlemen kepada partai politik peserta pemilu di suatu daerah pemilihan.
"Jika MK mengabulkan petitum para penggugat terhadap Pasal 420 huruf (c) dan (d), maka Pemilu 2024 mendatang tidak bisa menghasilkan kursi parlemen bagi semua partai politik peserta pemilu," pungkas mantan Wakil Ketua Komisi II DPR RI itu.