Sekjen PKB Singgung Tidak Ada Keajegan dalam Sistem Kepemiluan Indonesia
Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Hasanuddin Wahid menyinggung, tidak ada keajegan dalam penerapan sistem Pemilu di Indonesia.
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Endra Kurniawan
Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Hasanuddin Wahid menyinggung, tidak ada keajegan dalam penerapan sistem pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia.
Hal itu disampaikan Hasanuddin dalam diskusi publik bertajuk "Kedaulatan Rakyat vs Kedaulatan Partai", di kantor DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Jakarta Pusat, Selasa (17/1/2023).
Hasanuddin menuturkan, sistem kepemiluan di Indonesia kerap berubah-ubah.
"Setiap kali di Indonesia, yang namanya sistem kepemiluan dari waktu ke waktu keajegan itu jarang terjadi," kata Hasanuddin, di Kantor DPP PKB, Selasa (17/1/2023).
Menurutnya, sistem Pemilu dapat disebut bagus, jika sudah diterapkan minimal tiga hingga empat kali di negara tersebut.
Baca juga: Sekjen PKB: Mayoritas Kader PKB Ingin Pemilu Sistem Proporsional Terbuka
"Mestinya sebuah sistem, menurut saya itu bisa dinamakan bagus dan stable itu kalau dia tiga sampai empat kali minimal (diterapkan)," jelasnya.
Kuantitas tersebut, kata Hasanuddin, agar dapat menjadi pengukur tingkat stabilitas demokrasi di sebuah negara.
"Karena demokrasi juga penting ada stabilitas," ujarnya.
Ia kemudian menyinggung sistem Pemilu di Indonesia yang kerap bergonta-ganti.
"Yang alami dan wajar itu 4 sampai 5 kali. Tapi kita sekali. Ditinjau lagi. Ganti lagi. Sekali begitu. Ini kita baru 3 kali ini ya sistem politik terbuka. Ini mau ditinjau lagi," sebut Hasanuddin.
Sebelumnya, Ketua KPU, Hasyim Asyari menyebut ada kemungkinan Pemilu 2024 menggunakan sistem proporsional tertutup. Hasyim mengatakan aturan terkait sistem pemilihan sedang disidangkan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Baca juga: PKB Sebut Cak Imin Bakal Bertemu Prabowo Subianto Untuk Bahas Hasil Ijtima Ulama Pekan Ini
Sistem pemilu proporsional tertutup memungkinkan pemilih dalam pemilu legislatif hanya memilih partai, dan bukan calon legislatif. Sistem itu berbeda dengan proporsional terbuka yang saat ini berlaku, di mana masyarakat bisa memilih para kandidat calon legislatif.
Jika sistem proporsional tertutup berlaku, surat suara hanya akan berisi nama, nomor urut, dan logo partai. Sementara, partai politik yang menang dan mendapat jatah kursi, berhak menentukan orang yang akan duduk di kursi parlemen itu.
Sistem proporsional tertutup dipakai pada Pemilu 1955, sepanjang Orde Baru, dan terakhir pada Pemilu 1999. Perubahan dilakukan dengan menerapkan sistem proporsional terbuka mulai Pemilu 2004 hingga Pemilu 2019.