Tantangan Parpol Baru dan Non-Parlemen Rebut Suara Milenial, Pengamat: Harus Ada Gagasan Baru
Parpol baru dan parpol non-parlemen dihadapkan tantangan tersendiri untuk meraih suara generasi milenial dan gen z.
Penulis: Wahyu Gilang Putranto
Editor: Nanda Lusiana Saputri
Performa partai baru paling tinggi terjadi di tahun 2004.
"Total suara partai baru di 2004 itu 21,3 persen, hanya kalah dari Golkar yang memperoleh 22 persen lebih. Jumlah itu, turun jadi 7,2 persen di 2009 dan seterusnya," tutur Djayadi.
Keempat, jumlah partai yang masuk di parlemen dalam beberapa kali pemilu cenderung stabil. Artinya pilihan orang cenderung stabil ke partai-partai yang sama.
"Usia rata-rata partai di atas 15 tahun. Hanya dua partai yang usianya 10 tahun lebih. Artinya partai-partai di DPR akan bertahan. Ini mempersulit partai baru untuk masuk." pungkas Direktur Eksekutif LSI.
Kelima, parpol baru belum dikenal luas di publik.
Partai baru, menurut Djayadi, hanya punya popularitas sekitar 60 persen untuk menopangnya masuk parlemen.
"Upaya sosialisasi partai menjadi kunci. Masalahnya adalah waktu tinggal kurang dari tujuh bulan.
Perlu mempercepat kedikenalan partai oleh masyarakat," kata dia.
Keenam, semua partai politik memiliki kecenderungannya yang sama soal kebijakan ekonomi, politik, dan sosial.
Parpol-parpol belum mampu saling membedakan diri dalam persoalan tersebut.
"Itulah yang menyebabkan pilihan terhadap partai menjadi stabil. Yang membedakan antar partai saat ini hanya soal bagaimana hubungan Islam dan politik."
"Pertanyaannya, partai baru mau main di ceruk mana?" katanya.
Meski begitu, masih ada peluang bagi parpol baru dan parpol nonparlemen untuk lolos threshold.
Daftar Partai Peserta Pemilu 2024