KPU Waspadai Beban Kerja Penyelenggara Bertambah Jika Jadwal Pilkada 2024 Dimajukan
Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mewaspadai beban kerja penyelenggara yang bertambah jika nantinya jadwal Pilkada 2024 dimajukan.
Penulis: Mario Christian Sumampow
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews, Mario Christian Sumampow
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mewaspadai beban kerja penyelenggara yang bertambah jika nantinya jadwal Pilkada 2024 dimajukan.
Hal ini lantaran banyak tahapan yang bakal beririsan dengan antara Pilkada itu sendiri dengan tahapan pileg dan pilpres,
"Ya secara praktis (beban kerja) bertambah. Dalam arti irisan tahapan yang beririsan di waktu yang sama lebih banyak," kata Anggota KPU RI Mochammad Afifuddin kepada awak media di kawasan Jakarta Pusat, Kamis (31/8/2023).
Untuk mengantisipasi hal itu, pria yang akrab disapa Afif ini mengaku pihaknya sudah melakukan persiapan dan penyesuaian. Sehingga jika nantinya benar jadwal pilkada berubah, pihaknya selaku penyelenggara pemilu tidak kewalahan.
"Yang pasti KPU akan taat terhadap regulasi, termasuk jika ada regulasi yang muncul belakangan, tentu kita siapkan jajaran semua untuk menyesuaikan situasi atas kemungkinan-kemungkinan peraturan yang muncul," ujarnya.
"Tapi ya sampai detik ini kita masih mengikuti aturan yang sudah kita pedomani, tahapan-tahapan yang awal. Kalau ada Perppu, misalnya, ya itu kita pedomani," tambah Afif.
Sebelumnya, pengamat sekaligus pengajar Hukum Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini punya pandangan serupa.
Ia mengatakan beban kerjanya penyelenggara pemilu akan bertambah jika jadwal Pilkada 2024 dimajukan.
"Irisan tahapan menimbulkan beban kerja yang berat bagi penyelenggara pemilu. Di situ saja antara pemilu 14 Februari dengan pilkada November itu kan irisannya sudah terjadi di tahapan krusial," ujar Titi, Rabu (30/8/2023).
Sejauh ini isu yang bergulir ialah jadwal pilkada yang harusnya berlangsung bulan November 2024 diusulkan untuk maju ke bulan September 2024.
Titi menjelaskan, tahapan pilkada ini nantinya bakal beririsan dengan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU).
Padahal di satu sisi, tahapan pilkada ini juga dinilai sama krusialnya.
"Selesai pemungutan penghitungan suara,sudah dimulai tahapan pilkada. Ketika PHPU berlangsung, itu masuk tahapan-tahapan untuk pilkada yang krusial semisal rekrutmen, kemudian persiapan DPT (daftar pemilih tetap)," kata Titi.
Di lain hal, Titi menilai ada aspek positif jika pilkada dimajukan ke September. Seperti hal yang berkaitan dengan akhir masa jabatan (AMJ) kepala daerah.
"Memang ada aspek positifnya, kita bisa menghindari penjabat yang akan mengisi kepala daerah hasil pilkada 2020," tuturnya.
"Karena kan pilkada 2020 AMJ nya pada 31 Desember 2024. Kan dikhawatirkan kalau pilkada November, ada sengketa, ada daerah-daerah yang AMJ-nnya Desember 2024 diisi oleh penjabat.
Baca juga: KPU Revisi PKPU 10/2023 Soal Keterwakilan Perempuan, Parpol Bakal Rombak Caleg di Tahapan Pemilu?
Namun risikonya jauh lebih besar jika jadwal pilkada dimajukan. Sebab akan berdampak pada kompleksitas dan profesionalitas kemampuan penyelenggara mengelola tahapan.
"Ini yang kemudian bisa membahayakan baik pemilu legislatif maupun pilkada," tandasnya.
Wacana perubahan jadwal pilkada ini sudah digulirkan meskipun tak secara terang-benderang dinyatakan sebagai usul atau rencana.
Sebelumnya Ketua KPU RI, Hasyim Asy'ari pernah menyampaikan menyampaikan sejumlah alasan mengapa Pilkada 2024 dianggap lebih baik apabila dipercepat ke bulan September.
Ia menuturkan majunya jadwal ini sebagai bagian dari upaya mencapai keserentakan pelantikan kepala daerah pada Desember 2024 serta dalam hal terbentuknya pemerintah daerah dan legislatif daerah di tahun yang sama.