Pengamat Minta Masyarakat Ikut Awasi Sidang Dugaan Pelanggaran Etik Hakim MK Sampai Putusan
Peneliti LSAK, Ahmad A. Hariri, meminta masyarakat mengawasi proses sidang dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi di MKMK.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Lembaga Studi Anti Korupsi (LSAK), Ahmad A. Hariri, meminta masyarakat mengawasi proses sidang dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi di Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) hingga akhir putusan.
Menurut dia, MKMK harus tegas, jelas, serta tak menyimpang karena politik dalam menyampaikan putusan perkara dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi.
"Jangan sampai akal sehat dan integritas tergeser oleh logika-logika terbalik yang hanya akan membangun tragedi di atas tragedi," kata dia dalam keterangannya pada Minggu (5/11/2023).
Sebelumnya, Ketua Majelis Kehormatan MK, Jimly Asshiddiqie menyatakan dugaan pelanggaran etik hakim MK terbukti.
Jimly menyebut bukti telah lengkap dan tak sulit dibuktikan.
Apabila ketua MKMK mengatakan terjadi pelanggaran etika, maka pada penyampaian putusan nanti harus jelas dan tegas.
Sebab, dia mengatakan putusan MK adalah putusan Lembaga Yudikatif.
"Seharusnya putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 juga batal demi hukum. Putusan MK terkait hal ini juga itu tidak sah dan batal demi hukum karena terbukti oleh MKMK adanya pelanggaran etika," kata dia.
Selain itu, kata dia, Putusan MKMK yang menyatakan terjadi pelanggaran etika dalam putusan MK akan menjadi petunjuk adanya sifat melawan hukum sebagaimana dicantumkan dl Pasal 21 UU No 28 Thn 1999 tentang nepotisme.
Untuk itu, LSAK akan membuat laporan pengaduan masyarakat kepada Kejaksaan dan atau KPK agar melakukan penyelidikan atas hal ini.
"Penyelidikan aparat penegak hukum yang dapat membuktikan terdapat nepotiame, maka yang bersangkutan dapat dituntut pidana melanggar Pasal 21 dan dapat dihukum paling lama 12 tahun atau sekurang-kurangnya 2 tahun dan denda paling banyak Rp 1 M dan paling sedikit Rp 200 juta," kata dia.
Selain itu, Implikasi hukum putusan MK yang unexcutable adalah DPR RI tidak dapat melanjutkan pengesahan perubahan atas PKPU.
Baca juga: Jika Isu Putusan MK Berlarut-larut Dinilai Berpotensi Jadi Alat untuk Ganggu Stabilitas Politik RI
"Pengesahan perubahan PKPU itu harus ditunda sampai dengan penuntutan pidana dan terdapat putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap," tambahnya
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.