Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Brahma Aryana Tegaskan Gugatan Putusan 90 MK Bukan demi Jegal Gibran Jadi Cawapres

Brahma Aryana menegaskan gugatan terkait putusan batas usia capres-cawapres bukan demi menjegal Gibran sebagai cawapres di Pilpres 2024.

Penulis: Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor: Sri Juliati
zoom-in Brahma Aryana Tegaskan Gugatan Putusan 90 MK Bukan demi Jegal Gibran Jadi Cawapres
Kompas-Unusia
Brahma Aryana menegaskan gugatan terkait putusan batas usia capres-cawapres bukan demi menjegal Gibran sebagai cawapres di Pilpres 2024. 

TRIBUNNEWS.COM - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) sekaligus penggugat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal batas usia capres-cawapres, Brahma Aryana mengungkapkan gugatan yang dilayangkannya bukan demi menjegal Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres di Pilpres 2024.

Dia menegaskan gugatan terhadap putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu semata-mata demi kepastian hukum dan legitimasi Pemilu 2024.

"Kepentingan saya cuma ingin memastikan kepastian hukum dan legitimasi Pemilu 2024 agar tidak lemah dan semakin lemah," katanya ketika dihubungi Tribunnews.com, dikutip pada Kamis (9/11/2023).

Sosok yang akrab disapa Bram itu pun menjelaskan pula legal standing dirinya sebagai pemohon dalam gugatan tersebut yaitu sebagai anggota Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP).

"Posisi saya selain sebagai mahasiswa, juga sebagai pemantau pemilu di KIPP. Saya kira klir ya mengenai independensi sebagai pemantau," ujarnya.

"Sebagai pegiat pemilu, saya sangat menjaga independensi KIPP," sambung Bram.

Baca juga: 3 Alasan Brahma Aryana Gugat Putusan MK 90, Singgung Ketidakpastian Hukum hingga Konflik Kepentingan

Lebih lanjut, Bram mengungkapkan ada tiga alasan utama sehingga menggugat putusan 90 tersebut.

Berita Rekomendasi

Pertama, dia menyebut ada frasa dalam putusan tersebut yang menimbulkan ketidakpastian hukum yaitu soal syarat untuk dapat mengajukan menjadi capres-cawapres adalah kepala daerah yang dipilih lewat pemilihan umum.

"Dalam frasa' yang dipilih melalui pemilihan umum' tidak menyebutkan secara spesifik pada jabatan pada tingkat apa yang dimaksud tersebut," kata Bram.

Kedua, tidak tercapainya kuorum terkait komposisi hakim yang mengabulkan gugatan 90 tersebut.

"Komposisi hakim yang mengabulkan. Ada sembilan hakim MK yang menyidangkan perkara tersebut, namun hanya terdapat tiga hakim MK yang menyetujui jabatan di bawah Gubernur, sehingga amar putusan a quo tidak mencapai kuorum persetujuan yang ideal," ujarnya.

Terakhir, Bram menyebut adanya conflict of interest atau konflik kepentingan dalam putusan 90 tersebut.

Hal itu, sambungnya, terbukti lewat putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Nomor 2 Tahun 2023 yang membuktikan mantan Ketua MK, Anwar Usman melakukan pelanggaran berat.

"Artinya, dalam putusan Nomor 90 tersebut, sudah terbukti bahwa terdapat intervensi kekuasaan dalam prosesnya," tuturnya.

Baca juga: Harta Kekayaan Hakim Suhartoyo, Ketua MK Pengganti Anwar Usman, Total Rp 14,7 M, Naik Dalam Setahun

Bram pun mengatakan ketiga alasannya itu sekaligus menunjukkan legitimasi Pemilu 2024 menjadi lemah karena turut memengaruhi terbitnya Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 23 Tahun 2023 yang berlandaskan putusan MK yang bermasalah.

"Selain itu, legitimasi salah satu calon pun lemah, karena berangkat dari putusan yang penuh problematika dan pelanggaran etik (terhadap sembilan hakim MK -red)," kata Bram.

Kemudian, Bram menjelaskan bahwa sebenarnya Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sudah tidak perlu untuk digugat lagi.

Namun, lantaran adanya putusan 90 MK itu, justru menjadi aturan yang bermasalah.

"Saya kira Pasal 169 huruf q UU Pemilu mengenari syarat usia 40 tahun adalah sebuah proses panjang dan punya dasar filosofis yang kuat," katanya.

Baca juga: Anwar Usman Mengaku Difitnah di Putusan MKMK, Mahfud MD: Siapa yang Memfitnah?

Berangkat dari hal itulah, Bram kemudian mengajukan gugatan baru terkait putusan 90 MK tersebut.

Dia lalu mengambil langkah awal dengan berkonsultasi dengan kuasa hukumnya saat ini, Viktor Santoso Tandiasa.

"Kami bertemu dalam pelatihan PHPU tanggal 16 Oktober 2023 yang diadakan oleh MK. Di sana kami berdiskusi, dan kemudian sepakat untuk maju bersama."

"Saya sebagai pemohon dan Bang Viktor sebagai kuasa hukum saya," katanya.

Sementara terkait gugatan yang telah disidangkan pada Rabu (8/11/2023) kemarin, Bram meminta agar MK segera memutusnya dengan cepat lantaran menurutnya bersifat mendesak.

"Saat penutupan sidang tadi siang (Rabu kemarin), saya juga minta ke majelis hakim untuk tidak mengiktsertakan Anwar Usman (mantan Ketua MK) dalam pemeriksaan berdasarkan putusan MKMK 2/2023)."

"Dan meminta MK juga untuk memeriksa dan memutus cepat perkara ini sebab urgensi sudah ada, tinggal diperiksa dan diputus segera," kata dia.

Sebagai informasi, gugatan Bram tersebut sudah memasuki sidang perdana yang digelar pada Rabu kemarin.

Dalam gugatannya, Bram berharap hanya gubernur di bawah usia 40 tahun yang dapat maju capres/cawapres, serta tidak berlaku untuk kepala daerah di bawah level gubernur.

"Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 20l7 tentang Pemilihan Umum sebagaimana telah dimaknai Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No 90/PUU-XXI/2023 terhadap frasa 'yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah' bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai 'yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat provinsi'.

"Sehingga bunyi selengkapnya 'Berusia paling rendah 40 tahun atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat provinsi'," demikian bunyi permohonan Brahma.

(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)

Artikel lain terkait Pilpres 2024

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas