Jimly Sebut Kekecewaan Anwar Usman Wajar: Tapi Baper Orang Jangan Jadi Ukuran
Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie angkat bicara soal pernyataan hakim konstitusi Anwar Usman yang dijatuhkan sanksi pemberhentia sebagai Ketua MK.
Editor: Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie angkat bicara soal ungkapan hati hakim konstitusi Anwar Usman pasca dijatuhkan sanksi pemberhentian sebagai Ketua MK.
Terkait hal itu, Anwar mengaku merasa difitnah secara keji terkait dengan penanganan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengenai syarat usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
"Tanggapan Pak Anwar Usman jangan dianggap ditafsirkan juga dia menolak, dia hanya mengekspresikan kekecewaanya," kata Jimly dalam wawancara dengan Karni Ilyas di akun Youtubenya, dikutip Tribun, Kamis (9/11/2023).
Jimly menyebut wajar kekecewaan yang diungkap Adik ipar Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu.
"Orang kecewa wajarlah itukan manusiawi, cuma dalam bernegara prinsip rule of law, not of man, jadi baper (bawa perasaan) orang per orang jangan jadi ukuran. Kita ngga boleh baper. Sekali sudah diputus harus jalan, tapi unsur manusiawi harus dimengerti jangan juga kita kuyu kuyu kasihan," ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, Anwar Usman mengaku pantang mundur dalam menegakkan hukum di tanah air.
"Saya tidak pernah berkecil hati dan pantang mundur dalam menegakkan hukum dan keadilan di negara tercinta," kata Anwar Usman, Rabu, (8/11/2023), dalam tanggapannya atas pencopotannya oleh Majelis Kehormatan Mahkaman Konstitusi (MKMK).
Anwar mengatakan kariernya sebagai hakim selama hampir 40 tahun itu dihancurkan oleh fitnah.
"Dilumatkan oleh sebuah fitnah yang amat keji dan kejam," ujarnya.
Paman bakal calon presiden Gibran Rakabuming Raka itu kemudian mengklaim ada skenario yang ditujukan untuk membunuh karakter dan martabatnya.
"Saya tetap yakin bahwa sebaik-baik skenario manusia siapa pun untuk membunuh karakter saya, karier saya, harkat dan derajat saya, serta martabat saya dan keluarga besar saya, tentu tidak akan lebih baik dan indah dibandingkan skenario atau rencana Allah Swt.," katanya.
Baca juga: MK jadi Mahkamah Keluarga, Anwar Usman: Tega!
Anwar mengaku berpasrah diri kepada Tuhan dalam menghadapi fitnah yang diarahkan kepada dia dan keluarganya.
"Semoga yang selalu memfitnah, yang membuat isu yang menyudutkan diri saya dan keluarga saya, atau yang menzalimi saya, diampuni oleh Allah Swt., Tuhan Yang Maha Kuasa.”
Mengaku patuhi asas dan norma
Dalam kesempatan yang sama, Anwar juga menyinggung tudingan bahwa dia memutus perkara perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 berdasarkan kepentingan pribadi.
Putusan tentang gugatan batas usia capres dan cawapres itu telah membuka jalan bagi keponakannya, Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka, untuk maju sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto.
"Namun, fitnah keji yang menerpa saya bahwa saya memutus perkara tentu berdasarkan kepentingan pribadi dan keluarga. Hal itulah yang harus diluruskan," ujar dia.
Anwar mengklaim tetap mematuhi asas dan norma dalam memutus perkara nomor 90.
Dia juga menyebut dalam penanganan perkara gugatan batas usia capres dan cawapres terdapat unsur politiknya.
"Sesungguhnya saya telah mendapat kabar bahwa (ada) upaya untuk melakukan politisasi dan menjadikan saya sebagai objek di dalam berbagai putusan Mahkamah Konstitusi," katanya.
Baca juga: Putusan MKMK Mengecewakan, YLBHI: Seharusnya Anwar Usman Diberhentikan Tidak Hormat
Di sisi lain, Anwar mengaku tidak ambil pusing atas sanksi pencopotan dia dari jabatan Ketua MK.
“Sejak awal saya sudah mengatakan bahwa jabatan itu adalah milik Allah Swt. sehingga pemberhentian saya sebagai Ketua MK tidak sedikit pun membebani diri saya."
Dia meyakini ada hikmah di balik pencopotan itu.
Diminta mundur
Anwar dicopot dari jabatannya karena dinyatakan melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik hakim konstitusi.
Maruarar Siahaan yang pernah menjadi hakim konstitusi dari tahun 2003 hingga 2008 menyebut seharusnya Anwar mengundurkan diri.
"Oleh karena itu, barangkali ini agar efektif, kalau di shame culture (budaya malu) di mana ada shame culture itu sudah tidak usah saya terjemahkan. Semua orang akan mundur kalau keadaan seperti ini," kata Maruarar kepada awak media di kawasan Jakarta Pusat, Selasa malam, (7/11/2023).
"Karena sorry to say, Pak Anwar iparnya presiden. Yang mengeluarkan keputusan pemberhentian nanti ya Pak Presiden," katanya.
Baca juga: Pemilihan Ketua MK Baru Pengganti Anwar Usman Digelar Kamis Besok
Mirip dengan Maruarar, Direktur Eksekutif Public Virtue Research Institute (PVRI) Yansen Dinata juga mengimbau Anwar untuk mundur.
"Menurut saya, Anwar Usman sebagai pejabat publik dan terbukti bersalah. Tapi malu dan tahu diri sudah menjadi budaya langka di perpolitikan kita, sehingga mundur dari jabatan setelah dinyatakan bersalah boleh jadi tidak terbayang dibenak pejabat. Anwar Usman kalau tahu diri, ya lebih baik mundur," kata Yansen, Selasa, (7/11/2023), dikutip dari Kompas.com.
Selain itu, Yansen menyebut MKMK seharusnya menjatuhkan sanksi pemberhentian dengan tidak hormat kepada Anwar lantaran yang bersangkutan telah melakukan pelanggaran etik berat.
Dilaporkan ke Ombudsman RI
Perekat Nusantara dan TPDI akan melaporkan hakim konstitusi Anwar Usman ke Ombudsman RI karena dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan tugas Mahkamah Konstitusi (MK).
Koordinator Perekat Nusantara dan TPDI Petrus Selestinus mengatakan, laporan akan dilakukan hari ini, Kamis (9/11/2023).
Sebagai pelapor, Petrus mengaku kecewa, karena 5 butir amar putusan MKMK yang dijatuhkan kepada Anwar Usman tidak menyentuh esensi persoalan dan sama sekali.
"Tidak menjawab ekspektasi publik, bahkan rasa keadilan publik dipandang dari aspek yuridis, filosofis, etik dan moral," katanya.
Alasannya karena MKMK tegas menyatakan Hakim Terlapor terbukti melakukan pelanggaran berat, akan tetapi MKMK tidak berani menjatuhkan sanksi berupa "pemberhentian dengan tidak hormat" sesuai ketentuan pasal 47 Peraturan MK No.1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
Dirinya bahkan menduga ada aroma kompromi, aroma intervensi kekuasaan untuk menyelamatkan muka Hakim Terlapor.
"Padahal, MKMK seharusnya mengedepankan upaya menyelamatkan muka MK, menyelamatkan marwah dan keluhuran martabat MK ketimbang muka Hakim Terlapor yang sudah terbukti melakukan pelanggaran berat," ujar Petrus Selestinus.
Dengan amar putusan seperti itu, menurut Petrus Selestinus sebetulnya Jimly Asshiddiqie dan MKMK gagal mengembalikan marwah dan kehormatan serta kemerdekaan MK yang dijamin UUD 1945 dari cawe-cawe tangan kekuasaan dengan menggunakan jalur keluarga.
"Ibarat dokter bedah mengoperasi cancer tetapi masih menyisahkan virus ganas dalam tubuh pasiennya, sehingga masih mengancam MK ke depan, " katanya.
Dengan tetap mempertahankan Hakim Terlapor dalam jabatan Hakim Konstitusi dengan sedikit menghilangkan kekuasaan dan wewenangnya sebagai Ketua MK dengan pembatasan tidak ikut sidang perkara tertentu dan tidak ikut dicalonkan atau mencalonkan diri sebagai pimpinan MK.
Namun demikian Hakim Terlapor masih menjadi ancaman disharmonisasi dalam tubuh MK, sehingga Hakim Terlapor dikhawatirkan akan menjalankan peran-peran non yustisial secara lebih leluasa tanpa beban dll dan ini tentu jadi ancaman serius atau bom waktu bagi MK ke depan.
Selain itu Hakim Terlapor juga dalam Peraturan MK No.1 Tahun 2023, telah menutup jalan bagi Terlapor/Pelapor untuk banding, sementara peraturan Banding yang seharusnya dibuat oleh Hakim Terlapor selaku Ketua MK selama ini diabaikan.
Padahal itu menjadi tugas dan kewajiban seorang Ketua MK.
Baca juga: Agar Tak Jadi Beban, Setara Institute Desak Anwar Usman Undur Diri dari Jabatan Hakim MK
"Advokat Perekat Nusantara dan TPDI akan melaporkan Hakim Terlapor ke Ombudsman RI terkait kesalaham dalam tata kelola pelayanan administrasi publik di MK terutama menutup pintu bagi kontrol publik terhadap MK selama ini," kata Petrus Selestinus.
Satu hal penting dan positif dalam putusan MKMK ini adalah telah mendeligitimasi pencalonan sebagai Bacapres Gibran Rakabuming Raka, dimana putusan MKMK yang memberhentikan Hakim Terlapor dari Jabatan Ketua MK terkait pelanggaran Kode Etik dalam penanganan perkara No.90/PUU-XXI/2023, akibat konflik kepentingan karena hubungan keluarga dari sudut pandang Etika dan Hukum, hal itu harus dinyatakan bahwa pencalonan Gibran sebagai Bacawapres tidak dan akan menuai gugatan secara beranak pinak dari Sabang sampai Maroke. (*)