Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Ray Rangkuti: Putusan MK Soal Batas Usia Masih Perlu Diatur Kriterianya Lewat UU

Ray kemudian menyinggung soal kontroversi Putusan MK tersebut dengan majunya keponakan Ketua MK terdahulu, Anwar Usman

Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Ray Rangkuti: Putusan MK Soal Batas Usia Masih Perlu Diatur Kriterianya Lewat UU
Tribunnews.com/Mario Christian Sumampow
Pengamat politik sekaligus Ketua Lingkar Madani (LIMA) Indonesia Ray Rangkuti. 

Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pendiri Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti menyoroti pentingnya Putusan Mahkamah Konstitusi soal syarat batas minimal usia capres-cawapres diatur lebih lanjut melalui Undang-Undang (UU).

Ray menilai, Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu tidak memiliki kriteria lebih lanjut soal 'berpengalaman sebagai kepala daerah' yang dimaksud di dalamnya.

Untuk diketahui, Putusan MK tersebut mengubah Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu selengkapnya berbunyi:

"Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah."

Ray kemudian menyinggung soal kontroversi Putusan MK tersebut dengan majunya keponakan Ketua MK terdahulu, Anwar Usman sekaligus putra dari Presiden Jokowi, Gibran Rakabumingraka yang maju sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto di 2024.

"(Putusan MK 90/PUU-XXI/2023) itu seperti enggak punya kriteria sama sekali. Ya seperti yang terjadi pada Gibran lah. Masa baru 3 tahun Wali Kota (Surakarta) lalu naik jadi calon wakil presiden. Di mana pengalamannya?" kata Ray, kepada Tribunnews.com, pada Minggu (19/11/2023).

BERITA REKOMENDASI

"Maka berdasarkan itulah sebetulnya Putusan MK ini masih tetap perlu dinyatakan dalam UU. Biar nanti UU yang buat kriterianya," sambungnya.

Menurut Ray, perlu diatur lebih lanjut mengenai kriteria terkait norma 'berpengalaman sebagai kepala daerah' sesuai Putusan MK 90/2023 itu.

"Jadi misalnya kriteria berpengalaman itu seperti apa. Apa orang yang baru 3 tahun jadi wali kota tiba-tiba dianggap berpengalaman lalu boleh jadi calon wakil presiden. Nah itu nanti bisa dibuat kisi-kisinya oleh UU," jelas Ray.

"Itulah pentingnya memang aturan ini dimasukan dulu ke dalam UU. Biar UU yg membuat batasan-batasannya. Misalnya, bahwa yang disebut berpengalaman itu adalah orang yang setidaknya pernah satu kali jadi wali kota, itu kira-kira tuh. Kalau masih 3 tahun jadi wali kota ya dianggap tidak berpengalaman, nah oleh karena itu tidak bisa dicalonkan jadi calon presiden atau calon wakil presiden," tuturnya.

"Nanti akan ada lho orang sehari dua hari jadi wali kota tiba-tiba jadi calon wakil presiden. Kenapa? Karena dia punya pengalaman. Pengalamannya karena pernah jadi wali kota. Jadi pengalamannya karena 'pernah' itu, jadi bukan pengalaman berdasarkan profesionalisme."

Sebelumnya, Hakim Konstitusi Anwar Usman dicopot dari jabatannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).

Hal tersebut ditegaskan dalam putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) terkait laporan dugaan pelanggaran etik mengenai Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.

"Hakim Terlapor terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan," ucap Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie, dalam sidang di gedung MK, Selasa (7/11/2023).

"Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi kepada Hakim Terlapor," tegas Jimly.

Terkait hal itu, Jimly memerintahkan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra untuk dalam waktu 2x24 jam sejak Putusan tersebut selesai diucapkan, memimpin penyelenggaraan pemilihan pimpinan yang baru sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Selain itu, Jimly menegaskan, Anwar Usman tidak boleh mencalonlan diri sebagai pimpinan MK hingga masa jabatannya sebagai hakim konstitusi berakhir.

"Hakim Terlapor tidak berhak untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan Mahkamah Konstitusi sampai masa jabatan Hakim Terlapor sebagai Hakim Konstitusi berakhir," ucapnya.

"Hakim Terlapor tidak diperkenankan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang memiliki potensi timbulnya benturan kepentingan," sambung Jimly.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan terkait batas usia capres-cawapres dalam Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum lewat sidang pleno putusan yang digelar di Gedung MK, Jakarta pada Senin (16/10/2023).

Putusan ini terkait gugatan dari mahasiswa yang bernama Almas Tsaqibbirru Re A dengan kuasa hukum Arif Sahudi, Utomo Kurniawan, dkk dengan nomor gugatan 90/PUU-XXI/2023 dibacakan oleh Manahan Sitompul selaku Hakim Anggota.

Pada gugatan ini, pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah baik di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Anwar Usman, di dalam persidangan, Senin (16/10/2023).

Sehingga Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu selengkapnya berbunyi:

"Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah."

Namun, putusan tersebut kontroversial. Bahkan, dinilai tidak sah oleh sejumlah pakar, karena adanya dugaan konflik kepentingan antara Ketua MK Anwar Usman dengan keponakannya, yakni putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabumingraka (36).

Terkait hal itu, pemohon perkara 90/PUU-XXI/2023, Almas Tsaqqibbiru, merupakan penggemar dari Gibran, yang juga menjabat Wali Kota Solo.

Adapun putusan tersebut diduga memuluskan langkah Gibran maju sebagai calon wakil presiden (cawapres) pendamping Prabowo Subianto di Pilpres 2024 mendatang.

Imbasnya, saat ini MKMK telah menerima sebanyak 21 laporan terkait dugaan pelanggaran etik dan perilaku hakim terkait putusan tersebut.

MKMK juga telah memeriksa semua pelapor dan para hakim terlapor, hingga putusan terkait dugaan pelanggaran etik itu siap dibacakan, pada Selasa (7/11/2023) sore pukul 16.00 WIB, di Gedung MK, Jakarta Pusat.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas