Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Dosen Fakultas Hukum UI: Hakim MK Butuh Kemampuan Menahan Diri Agar Terhindar Politisasi Yudisial

Dosen hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini menyoroti Undang-Undang 7 Tahun 2017 menjadi yang diuji di MK.

Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Wahyu Aji
zoom-in Dosen Fakultas Hukum UI: Hakim MK Butuh Kemampuan Menahan Diri Agar Terhindar Politisasi Yudisial
Tribunnews/JEPRIMA
ILUSTRASI Suasana Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta Pusat, Kamis (26/7/2018). 

Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dosen hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) sekaligus Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyoroti Undang-Undang 7 Tahun 2017 menjadi yang paling banyak diuji di Mahkamah Konstitusi (MK).

Dikutip dari situs resmi MK RI, pada Selasa (21/11/2023), Undang-Undang (UU) Pemilu itu telah digugat sebanyak 129 kali.

Diikuti Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana sebanyak 80 kali.

Di peringkat ketiga, ada Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang, yang telah diuji sebanyak 45 kali.

Titi mengatakan, hal ini menjadi tanda bahwa kini MK telah menjadi arena tarik-menarik kepentingan politik berbagai pihak.

"UU pemilu adalah UU yang paling banyak diuji selama Mahkamah Konstitusi berdiri. Bahkan, MK menjadi arena tarik menarik aspirasi atau kepentingan politik para pihak," kata Titi, dalam rapat kordinasi Kemenko Polhukam bertajuk 'Menjaga Stabilitas Politik Hukum dan Keamanan pada Tahapan Pemilu 2024', di Jakarta Pusat, pada Selasa (21/11/2023).

Berita Rekomendasi

"Ada satu kelompok yang meminta syarat usia (capres-cawapres) diturunkan. Ada kelompok lain yang meminta ambang batas usia atas diberlakukan. Itu kan artinya pertarungan kepentingan politik dipindahkan ke MK," sambungnya.

Oleh karena itu, menurutnya, para hakim konstitusi harus mampu melakukan sikap menahan diri di tengah perkara-perkara yang berkaitan dengan aspek politik. Hal itu dilakukan, kata Titi, agar terciptanya stabilitas hukum pemilu.

"Maka kalau kita ingin stabilitas hukum pemilu, MK sebagai negarawan hakim-hakimnya mesti mampu melakukan judicial restraint atau sikap menahan diri. Di mana dia menangani perkara-perkara berkaitan dengan aspek politik untuk tidak terjerumus pada politisasi yudisial," kata Titi.

Selain itu, ia mengatakan, kemampuan menahan diri para hakim MK juga merupakan sebuah kebutuhan agar terhindar dari politisasi yudisial.

"Jadi satu sisi memang ada tuntutan yang besar pada MK untuk melakukan aktivisme judisial, melakukan terobosan. Tapi di saat yang sama, ini perkara yang kental dengan aroma politik, maka kemampuan menahan diri dari hakim-hakim MK juga sangat dibutuhkan supaya terhindar dari politisiasi yudisial," tuturnya.

Sebelumnya, Hakim Konstitusi Anwar Usman dicopot dari jabatannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).

Hal tersebut ditegaskan dalam putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) terkait laporan dugaan pelanggaran etik mengenai Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Baca juga: Uji Ulang Aturan Batas Usia Capres & Cawapres di MK, Pemohon Jalani Sidang Perbaikan Permohonan

"Hakim Terlapor terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan," ucap Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie, dalam sidang di gedung MK, Selasa (7/11/2023).

"Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi kepada Hakim Terlapor," tegas Jimly.

Terkait hal itu, Jimly memerintahkan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra untuk dalam waktu 2x24 jam sejak Putusan tersebut selesai diucapkan, memimpin penyelenggaraan pemilihan pimpinan yang baru sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Selain itu, Jimly menegaskan, Anwar Usman tidak boleh mencalonlan diri sebagai pimpinan MK hingga masa jabatannya sebagai hakim konstitusi berakhir.

"Hakim Terlapor tidak berhak untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan Mahkamah Konstitusi sampai masa jabatan Hakim Terlapor sebagai Hakim Konstitusi berakhir," ucapnya.

"Hakim Terlapor tidak diperkenankan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang memiliki potensi timbulnya benturan kepentingan," sambung Jimly.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan terkait batas usia capres-cawapres dalam Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum lewat sidang pleno putusan yang digelar di Gedung MK, Jakarta pada Senin (16/10/2023).

Putusan ini terkait gugatan dari mahasiswa yang bernama Almas Tsaqibbirru Re A dengan kuasa hukum Arif Sahudi, Utomo Kurniawan, dkk dengan nomor gugatan 90/PUU-XXI/2023 dibacakan oleh Manahan Sitompul selaku Hakim Anggota.

Pada gugatan ini, pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah baik di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Anwar Usman, di dalam persidangan, Senin (16/10/2023).

Sehingga Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu selengkapnya berbunyi:

"Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah."

Namun, putusan tersebut kontroversial. Bahkan, dinilai tidak sah oleh sejumlah pakar, karena adanya dugaan konflik kepentingan antara Ketua MK Anwar Usman dengan keponakannya, yakni putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabumingraka (36).

Terkait hal itu, pemohon perkara 90/PUU-XXI/2023, Almas Tsaqqibbiru, merupakan penggemar dari Gibran, yang juga menjabat Wali Kota Solo.

Adapun putusan tersebut diduga memuluskan langkah Gibran maju sebagai calon wakil presiden (cawapres) pendamping Prabowo Subianto di Pilpres 2024 mendatang.

Baca juga: Ray Rangkuti: Putusan MK Soal Batas Usia Masih Perlu Diatur Kriterianya Lewat UU

Imbasnya, saat ini MKMK telah menerima sebanyak 21 laporan terkait dugaan pelanggaran etik dan perilaku hakim terkait putusan tersebut.

MKMK juga telah memeriksa semua pelapor dan para hakim terlapor, hingga putusan terkait dugaan pelanggaran etik itu siap dibacakan, pada Selasa (7/11/2023) sore pukul 16.00 WIB, di Gedung MK, Jakarta Pusat.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas