Dosen Fakultas Hukum UI: Hakim MK Butuh Kemampuan Menahan Diri Agar Terhindar Politisasi Yudisial
Dosen hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini menyoroti Undang-Undang 7 Tahun 2017 menjadi yang diuji di MK.
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Wahyu Aji
Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dosen hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) sekaligus Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyoroti Undang-Undang 7 Tahun 2017 menjadi yang paling banyak diuji di Mahkamah Konstitusi (MK).
Dikutip dari situs resmi MK RI, pada Selasa (21/11/2023), Undang-Undang (UU) Pemilu itu telah digugat sebanyak 129 kali.
Diikuti Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana sebanyak 80 kali.
Di peringkat ketiga, ada Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang, yang telah diuji sebanyak 45 kali.
Titi mengatakan, hal ini menjadi tanda bahwa kini MK telah menjadi arena tarik-menarik kepentingan politik berbagai pihak.
"UU pemilu adalah UU yang paling banyak diuji selama Mahkamah Konstitusi berdiri. Bahkan, MK menjadi arena tarik menarik aspirasi atau kepentingan politik para pihak," kata Titi, dalam rapat kordinasi Kemenko Polhukam bertajuk 'Menjaga Stabilitas Politik Hukum dan Keamanan pada Tahapan Pemilu 2024', di Jakarta Pusat, pada Selasa (21/11/2023).
"Ada satu kelompok yang meminta syarat usia (capres-cawapres) diturunkan. Ada kelompok lain yang meminta ambang batas usia atas diberlakukan. Itu kan artinya pertarungan kepentingan politik dipindahkan ke MK," sambungnya.
Oleh karena itu, menurutnya, para hakim konstitusi harus mampu melakukan sikap menahan diri di tengah perkara-perkara yang berkaitan dengan aspek politik. Hal itu dilakukan, kata Titi, agar terciptanya stabilitas hukum pemilu.
"Maka kalau kita ingin stabilitas hukum pemilu, MK sebagai negarawan hakim-hakimnya mesti mampu melakukan judicial restraint atau sikap menahan diri. Di mana dia menangani perkara-perkara berkaitan dengan aspek politik untuk tidak terjerumus pada politisasi yudisial," kata Titi.
Selain itu, ia mengatakan, kemampuan menahan diri para hakim MK juga merupakan sebuah kebutuhan agar terhindar dari politisasi yudisial.
"Jadi satu sisi memang ada tuntutan yang besar pada MK untuk melakukan aktivisme judisial, melakukan terobosan. Tapi di saat yang sama, ini perkara yang kental dengan aroma politik, maka kemampuan menahan diri dari hakim-hakim MK juga sangat dibutuhkan supaya terhindar dari politisiasi yudisial," tuturnya.
Sebelumnya, Hakim Konstitusi Anwar Usman dicopot dari jabatannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal tersebut ditegaskan dalam putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) terkait laporan dugaan pelanggaran etik mengenai Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Baca juga: Uji Ulang Aturan Batas Usia Capres & Cawapres di MK, Pemohon Jalani Sidang Perbaikan Permohonan