Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Tolak Uji Ulang Batas Usia Capres-Cawapres, Hakim MK: Putusan 90 Sudah Final dan Mengikat

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menegaskan, Putusan 90 tersebut secara hukum telah berlaku sejak dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum.

Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Muhammad Zulfikar
zoom-in Tolak Uji Ulang Batas Usia Capres-Cawapres, Hakim MK: Putusan 90 Sudah Final dan Mengikat
MK - KOMPAS.COM
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih. Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji ulang syarat batas minimal usia capres-cawapres yang diajukan mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Brahma Aryana. 

Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji ulang syarat batas minimal usia capres-cawapres yang diajukan mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Brahma Aryana.

Hal itu dinyatakan dalam sidang pembacaan putusan Perkara Nomor 141/PUU-XXI/2023, di ruang sidang gedung MK RI, pada Rabu (29/11/2023).




Brahma, selaku pemohon memohonkan uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang sebelumnya berubah oleh Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang kontroversial.

Baca juga: MK Tolak Gugatan Syarat Batas Usia Capres Cawapres yang Diajukan Mahasiswa Unusia

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menegaskan, Putusan 90 tersebut secara hukum telah berlaku sejak dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum. Sehingga seperti putusan MK lainnya, bersifat final dan mengikat.

"Jika dikaitkan dengan ketentuan norma Pasal 10 dan Pasal 47 UU MK serta Pasal 77 Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021, maka Mahkamah berpendapat Putusan a quo adalah putusan yang dijatuhkan oleh badan peradilan pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final," kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, dalam persidangan, Rabu (29/11/2023).

"Terhadap putusannya tidak dapat dilakukan upaya hukum. Hal tersebut dikarenakan, Mahkamah Konstitusi sebagai badan peradilan konstitusi di Indonesia tidak mengenal adanya sistem stelsel berjenjang yang mengandung esensi adanya peradilan secara bertingkat yang masing-masing mempunyai kewenangan untuk melakukan koreksi oleh badan peradilan di atasnya terhadap putusan badan peradilan pada tingkat yang lebih rendah sebagai bentuk 'upaya hukum'," sambungnya.

Baca juga: Hari Ini MK Putus Gugatan Uji Materiil Batas Usia Capres-Cawapres Diajukan Mahasiswa

BERITA TERKAIT

Mahkamah juga menyatakan, adanya pelanggaran etik berat yang melibatkan mantan Ketua MK Anwar Usman dalam perumusan Putusan 90 tak serta-merta membuat putusan tersebut dapat disidangkan ulang dengan majelis hukum yang berbeda, sebagaimana ketentuan Pasal 17 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

MK menilai UU Kekuasaan Kehakiman sebagai undang-undang yang sifatnya lebih umum daripada UU MK yang menegaskan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat.

Sebagaimana asas hukum lex specialis derogate lex generali, maka beleid yang bersifat khusus akan mengesampingkan beleid yang sifatnya umum.

"Pembentukan majelis yang berbeda untuk memeriksa kembali perkara sebagaimana yang dimaksudkan Pasal 17 ayat (7) UU 48/2009 tidak mungkin dapat diterapkan di Mahkamah Konstitusi," ucap Enny Nurbaningsih.

"Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, di dalam mempertimbangkan dalil permohonan pemohon, khususnya berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma sebagaimana yang didalilkan oleh pemohon, Mahkamah lebih menekankan dengan bertumpu pada UU MK yang bersifat khusus," tuturnya.

Selain itu, MK kemudian menyinggung kembali putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK) terhadap Hakim Konstitusi Anwar Usman. Adapun pada Pasal 358, pada intinya menegaskan bahwa meskipun terdapat pelanggaran etika berat di dalamnya, Putusan 90 telah berkekuatan hukum tetap sesuai prosedur.

Baca juga: Profil Mahasiswa Unusia Brahma Aryana yang Gugat Batas Usia Capres-Cawapres, Sempat Dipuji MKMK

Dalam sidang putusan Perkara 141/PUU-XXI/2023, Hakim Konstitusi Ketua MK Anwar Usman tak dilibatkan mengadili perkara dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Hal itu sesuai permohonan Pemohon dan amanat putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konsitusi (MKMK), pada 7 November lalu.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di

Wiki Populer

© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas