Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Polemik Perubahan Format Debat Capres-Cawapres, Disebut Akal-akalan, KPU Jelaskan Mekanismenya

Direktur Eksekutif SETARA Institute Halili Hasan pun menilai, bahwa format debat Pilpres 2024 jelas merupakan kemunduran.

Editor: Muhammad Zulfikar
zoom-in Polemik Perubahan Format Debat Capres-Cawapres, Disebut Akal-akalan, KPU Jelaskan Mekanismenya
istimewa
Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI telah mengumumkan jadwal debat untuk capres-cawapres. Dalam lima kali debat yang digelar KPU, seluruhnya akan dihadiri secara bersamaan oleh pasangan capres-cawapres. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - KPU telah menetapkan format debat Pilpres 2024. Dalam lima kali debat yang digelar KPU, seluruhnya akan dihadiri secara bersamaan oleh pasangan capres-cawapres.

Tidak ada gelaran debat khusus yang dihadiri hanya oleh Capres saja atau Cawapres saja.

"Lima kali debat itu pasangan calon semuanya hadir. Hanya saja, proporsi bicaranya yang berbeda. Pada saat debat capres, maka proporsinya capres untuk bicara lebih banyak. Ketika debat cawapres proporsinya untuk cawapres lebih banyak," kata Ketua KPU Hasyim Asyari.

Baca juga: Materi Debat Capres-Cawapres 2024, Digelar 5 Kali, Mulai Perdana 12 Desember 2023

Untuk diketahui pada debat Pilpres 2019 lalu, dari lima gelaran debat, dua khusus diperuntukkan untuk Capres-Cawapres, dua debat khusus untuk Capres, dan satu kali debat untuk Cawapres saja.

Perubahan format debat tersebut menimbulkan polemik.

Tambah Kecurigaan Publik ke KPU

Direktur Eksekutif SETARA Institute Halili Hasan pun menilai, bahwa format debat Pilpres 2024 jelas merupakan kemunduran.

"Dari sisi hak konstitusional warga negara, publik dirugikan karena mereka tidak diberikan ruang untuk mendapatkan referensi yang memadai tentang figur kepemimpinan otentik pada masing-masing kandidat pemimpin, baik Capres maupun Cawapres, sebelum rakyat menentukan pilihannya di bilik suara pada 14 Februari 2024," kata Halili kepada wartawan, Sabtu (2/12/2023).

Berita Rekomendasi

Halili pun menyoroti hal yang lebih serius lagi yakni.KPU semakin menebalkan kecurigaan publik bahwa patut diduga KPU tunduk pada intervensi kekuatan politik eksternal mereka.

Kecurigaan demikian rasional, sebab keputusan KPU hadir di tengah beberapa konteks yang sangat kasat mata.

Pertama, Putusan MK 90/2023 yang memberikan jalan bagi anak Presiden sekaligus keponakan Ketua MK saat itu, Gibran Rakabuming Raka, untuk melenggang sebagai Calon Wakil Presiden bagi Calon Presiden Prabowo Subianto.

Sebagaimana diketahui bersama, secara substantif maupun prosedural Putusan tersebut bermasalah dan, dalam berbagai pernyataan publik, SETARA menyebutnya sebagai kejahatan konstitusional (constitutional evil).

Kedua, putusan MKMK yang pada pokoknya menegaskan bahwa secara kelembagaan MK 'terbukti dengan sengaja membuka ruang intervensi pihak luar dalam proses pengambilan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023', melalui Ketua MK yang sudah diberhentikan, yaitu Anwar Usman, ipar Presiden sekaligus Paman Cawapres Gibran.

Ketiga, pernyataan publik Ketua KPK Periode 2015-2019, Agus Rahardjo bahwa saat KPK mengungkap kasus korupsi E-KTP dan menetapkan Ketua DPR RI saat itu, Setya Novanto, sebagai tersangka, Presiden Jokowi marah dan meminta KPK untuk menghentikan pengungkapan kasus korupsi E-KTP.

Di mana, KPK dalam kenyataannya menolak permintaan Presiden. Pernyataan Agus dibenarkan oleh Wakil Ketua KPK saat itu, Alexander Marwata.

Halaman
1234
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di

Wiki Terkait

© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas