Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Saat Kepala Negara Ramai-ramai Dikritik Kalangan Kampus, Dikhawatirkan Menjadi Awal Kejatuhan Jokowi

Pengamat menilai kritik dari kalangan akademisi menunjukkan betapa muaknya para intelektual dengan praktik Jokowi yang menyimpang.

Penulis: Dewi Agustina
zoom-in Saat Kepala Negara Ramai-ramai Dikritik Kalangan Kampus, Dikhawatirkan Menjadi Awal Kejatuhan Jokowi
Kolase Tribunnews
Presiden Joko Widodo (Jokowi) ramai-ramai dikritik sejumlah sivitas akademika dan guru besar dari berbagai universitas di Indonesia pada Pemilu 2024 ini. Kritikan ini dikhawatirkan akan menjadi awal dari kejatuhan Presiden Jokowi. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) ramai-ramai dikritik sejumlah sivitas akademika dan guru besar dari berbagai universitas di Indonesia pada Pemilu 2024 ini.

Kritikan ini dikhawatirkan akan menjadi awal dari kejatuhan Presiden Jokowi.

Seperti diungkapkan Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama, Ari Junaedi.

Ari Junaedi menilai kritikan ini merupakan bentuk keprihatinan dari berbagai civitas akademika terhadap kondisi demokrasi di Indonesia dalam Pemilu 2024.

Baca juga: 9 Guru Besar dan Dosen Unpad Kritik Jokowi di Seruan Padjadjaran: Krisis Kepemimpinan Tanpa Etika

Keprihatinan tersebut menunjukkan betapa muaknya para intelektual dengan praktik Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang menyimpang.

"(Ini) adalah gambaran betapa muaknya para intelektual dengan praktik-praktik kenegaraan yang menyimpang," kata Ari kepada Tribunnews.com, Jumat (2/2/2024).

Menurutnya, suara dari civitas akademika adalah wujud kejernihan kaum cerdik pandai yang menganggap rezim saat ini “keblinger” dengan kekuasaan.

Berita Rekomendasi

"Saya khawatir jika rezim ini begitu bebal dengan suara-suara keprihatinan kaum cerdik pandai akan menjadi awal kejatuhan Jokowi," ujar Ari.

Ari menegaskan, Jokowi tidak pernah belajar dari rezim Soeharto yang jatuh karena mengingkari suara-suara rakyat.

"Saya membandingkan suasana sekarang ini mirip dengan kondisi Soeharto menjelang lengser. Jokowi begitu terbuai dari suara-suara palsu para menteri yang menjadi penjilat," ucapnya.

Dia berpendapat, Jokowi di akhir pemerintahannya tidak memperkuat legacy-nya.

"Jika dulu Jokowi dikenang sebagai bapak pembangun infrastruktur, justru keputusan Mahkamah Konstitusi yang berkelindan dengan hubungan ipar dengan Ketua MK semakin menguatkan label Jokowi sebagai bapak pembangun dinasti keluarga," ungkap Ari.

Baca juga: Petuah Cak Imin hingga Komentar Anies dan Ganjar soal Jokowi Panen Kritik dari Sivitas Akademika


Ari menilai, Jokowi semakin memperlihatkan ambisi kekuasaan keluarga menjelang akhir pemerintahannya.

"Anak dan menantu diberi tempat di panggung politik dengan mengabaikan etika," ucapnya.

Dia menerangkan, adanya penyanderaan kasus hukum, penyaluran bantuan sosial (bansos) untuk kepentingan kampanye Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka hingga ketidaknetralan aparat menjadi wajah buruk Pemerintahan Jokowi.

"Demokrasi dan reformasi yang diperjuangkan melalui pengorbanan nyawa dan darah di 1998 “diselingkuhi” Jokowi dengan tidak tahu malu," imbuhnya.

Publik Kesal

Sementara itu Gufron Mabruri, Direktur Imparsial, menilai publik kesal dengan pemerintahan Jokowi yang ingin melanggengkan kekuasaan pribadi, keluarga, dan kroni-kroninya.

"Mereka yang menjunjung demokrasi dan HAM, serta menjunjung tinggi etika dan prinsip-prinsip dasar kebangsaan memilih tidak tinggal diam melihat darurat etika, hukum, dan tata demokrasi yang diacak-acak oleh rezim," ujarnya, Sabtu (3/2/2024).

Ia menggambarkan, dalam beberapa hari terakhir, elemen sivitas akademika di berbagai perguruan tinggi dan elemen masyarakat sipil mengekspresikan refleksi, seruan, petisi, dan sikap mereka untuk melakukan perlawanan dan menyelamatkan demokrasi, yang pada ujungnya menyelamatkan Indonesia.

Baca juga: Akademisi Ramai-ramai Kritik Jokowi, Pengamat: Intelektual Muak dengan Praktik Kenegaraan Menyimpang

"Mereka mengekspresikan kekesalan dengan keberulangan perilaku nir-etika yang dipertontonkan oleh Jokowi, keluarga dan kroni-kroninya," kata dia.

"Para civitas akademika dan elemen masyarakat sipil menyatakan cukup sudah bagi kecurangan Pemilu, mobilisasi dukungan dengan paksaan, penyalahgunaan kekuasaan melalui fasilitas dan anggaran negara, serta intimidasi yang terus menerus dilakukan terhadap pemilih dan aparatur negara demi memenangkan Paslon 02 yang didukung oleh Presiden Jokowi," katanya.

Koalisi Masyarakat Sipil mengapresiasi setinggi-tingginya inisiatif, petisi, dan seruan yang dikeluarkan oleh lintas universitas se-Indonesia serta elemen-elemen gerakan masyarakat akar rumput di banyak daerah.

"Kami berharap agar seluruh elemen gerakan mahasiswa untuk segera melakukan konsolidasi dan menyatakan sikap dan dukungannya untuk menyelamatkan demokrasi Indonesia dari rongrongan kekuasaan otoritaritarianisme jilid dua," katanya.

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto (kiri), Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat menyalurkan bansos (tengah), dan Capres nomor urut 1 Anies Baswedan (kanan). Sejumlah pihak mengkritik Jokowi yang dinilai gencar menyalurkan bansos jelang Pemilu 2024.
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto (kiri), Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat menyalurkan bansos (tengah), dan Capres nomor urut 1 Anies Baswedan (kanan). Sejumlah pihak mengkritik Jokowi yang dinilai gencar menyalurkan bansos jelang Pemilu 2024. (Kolase Tribunnews.com)

Kritik Kalangan Akademisi

Diketahui kritikan terhadap Jokowo awalnya datang dari kalangan akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM).

Awalnya sivitas akademika UGM yang terdiri dari guru besar, dosen, mahasiswa, serta alumni menyampaikan petisi Bulaksumur.

Petisi tersebut dibacakan oleh Prof Koentjoro sebagai perwakilan sivitas akademika UGM di Balairung UGM, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada Rabu (31/1/2024).

Petisi tersebut dikeluarkan karena para akademisi UGM merasa prihatin dengan tindakan sejumlah penyelenggara negara selama dipimpin Joko Widodo di berbagai lini yang dinilai menyimpang dari prinsip-prinsip moral, demokrasi, kerakyatan, serta keadilan sosial.

Melalui petisi tersebut, sivitas akademika UGM, mendesak dan menuntut segenap aparat penegak hukum dan semua pejabat negara dan aktor politik yang berada di belakang Presiden Jokowi, termasuk Presiden sendiri untuk segera kembali ke koridor demokrasi serta mengedepankan nilai-nilai kerakyatan dan keadilan sosial.

Setelah Universitas Gadjah Mada, sivitas akademika Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta juga menyampaikan petisi, dan menyampaikan pernyataan sikap "Indonesia Darurat Kenegarawanan".

Setelah Universitas Gadjah Mada, giliran sivitas akademika UII Yogyakarta menyampaikan pernyataan sikap

Pernyataan sikap sivitas akademika UII digelar di depan Auditorium Prof KH Abdul Kahar Muzakkir, Kampus Terpadu UII Jalan Kaliurang Km 14, Kabupaten Sleman pada Kamis (1/2/2024).

Pernyataan sikap tersebut diikuti oleh para guru besar, dosen, mahasiswa dan para alumni UII.

Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Prof Fathul Wahid membacakan pernyataan sikap "Indonesia Darurat Kenegarawanan".

"Dua pekan menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum 2024, perkembangan politik nasional kian menunjukkan tanpa rasa malu gejala praktik penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan," kata Fathul.

Dia menyebut bahwa kekuasaan digunakan untuk kepentingan politik praktis sekelompok golongan dengan mengerahkan sumber daya negara.

Oleh karenanya, demokrasi Indonesia kian tergerus dan mengalami kemunduran.

"Kondisi ini kian diperburuk dengan gejala pudarnya sikap kenegarawanan dari Presiden Republik Indonesia Joko Widodo," ujar Fathul. 

Indikator utamanya adalah pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) yang didasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara No. 90/PUU-XXI/2023.

Fathul mengatakan putusan yang proses pengambilannya sarat dengan intervensi politik dinyatakan terbukti melanggar etika.

Bahkan, membuat Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman diberhentikan dari jabatannya.

"Gejala ini kian jelas ke permukaan saat Presiden Joko Widodo menyatakan ketidaknetralan institusi kepresidenan dengan membolehkan Presiden berkampanye dan berpihak," katanya.

Perkembangan termutakhir, menurutnya, distribusi bantuan sosial melalui pembagian beras dan bantuan langsung tunai (BLT) oleh Presiden Jokowi juga ditengarai sarat dengan kepentingan politik.

Bansos dinilai diarahkan pada personalisasi penguatan dukungan terhadap pasangan calon presiden dan calon wakil presiden tertentu.

Reaksi Jokowi dan Istana

Terkait sikap kalangan kampus tersebut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menilai, penyampaian pendapat seperti itu merupakan hak demokrasi.

"Ya itu hak demokrasi. Setiap orang boleh berbicara, berpendapat. Silakan," ujar Jokowi di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Jumat (2/2/2024).

Sementara itu pihak Istana melalui Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana, menganggap wajar pertarungan opini yang muncul jelang pemilu.

Dia juga menyinggung strategi politik partisan.

"Pertarungan opini dalam kontestasi politik adalah sesuatu yang juga wajar aja. Apalagi kaitannya dengan strategi politik partisan untuk politik elektoral," kata Ari di Kompleks Kemensetneg, Jakarta, Jumat (2/2/2024) kemarin.

Meski begitu, Ari menegaskan kritik dari akademisi kampus itu sebagai kebebasan berbicara dan merupakan hak demokrasi warga negara.

Sumber: (Tribunnews.com/Fersianus/Yohanes Liestyo Poerwoto) (Tribun Jabar/Seli Andina Miranti)(Kompas.com)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas