Pengamat Nilai Dampak Kritik dari Akademisi Kalah dengan Guyuran Bansos Pemerintah
Gelombang kritik dari civitas academica dinilai kalah dengan guyuran bantuan sosial (bansos) yang dibagikan oleh pemerintah.
Penulis: Muhamad Deni Setiawan
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Gelombang kritik dari civitas academica dinilai kalah dengan guyuran bantuan sosial (bansos) yang dibagikan oleh pemerintah.
Hal ini disampaikan oleh pengamat politik dari Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting.
Dia melihat bagaimana di Indonesia mayoritas penduduknya tuna politik akibat kurangnya tingkat pendidikan.
"Karena sekitar 60 persen penduduk Indonesia tuna politik akibat rendahnya pengetahuan mereka yang berpendidikan SMP ke bawah," kata Ginting saat memberikan pandangannya, Rabu (7/2/2024), dikutip dari TribunJakarta.com.
Menurutnya, hal inilah yang dimanfaatkan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Publik menilai, sambung Selamat Ginting, Jokowi membagikan bansos untuk memenangkan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka dalam kontestasi Pilpres 2024.
Pada kontestasi kali ini, Gibran menjadi calon wakil presiden (cawapres) berpasangan dengan Prabowo Subianto sebagai calon presiden (capres).
"Itu yang digarap kubu presiden melalui program bansos dan BLT yang menggunakan uang negara (APBN) untuk kepentingan kubunya," ujarnya.
Lebih lanjut, dia menilai apa yang terjadi saat ini adalah dampak dari pemilihan langsung yang dianut Indonesia sejak reformasi.
Baginya, yang mesti diperbaiki untuk mengatasi masalah ini adalah pondasi demokrasi Tanah Air.
"Suara doktor sama dengan suara lulusan SD. Bagaimana Indonesia mau maju jika mayoritas yang tak berpendidikan, namun memiliki saham suara lebih banyak."
"Ini yang seharusnya diperbaiki adalah fondasi demokrasi kita. Bukan pemilu langsung. Tapi perwakilan seperti sila ke empat Pancasila," paparnya.
Baca juga: Luhut Singgung Orang yang Sebut Jokowi Tak Bisa Kerja, Sindir Ahok?
Dia berpendapat sistem yang cocok diterapkan di Indonesia adalah presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
"Sekarang kita terjebak pada demokrasi liberal. Uang yang menentukan. Orang-orang pintar tapi tidak punya uang, tidak akan bisa menduduki kursi di parlemen," terangnya.
Oleh sebab itu, dirinya tak sependapat dengan pandangan yang menilai model pemilihan presiden oleh MPR sebagai kemunduran demokrasi.
Menurutnya hal itu adalah amanah Pancasila pada sila keempat. MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
"Kata siapa kemunduran demokrasi? Itu cita-cita luhur para pendiri bangsa. Sudah diperhitungkan secara matang."
"Ada perwakilan-perwakilan bukan hanya partai politik saja, tapi ada utusan golongan, profesi, agama, suku, dan lain-lain. Itu kan amanah sila ke empat. MPR lembaga tertinggi negara."
"Bukan seperti sekarang, pemimpin nasional ditentukan oleh suara orang-orang yang minim pendidikannya," jelasnya.
Tanggapan Ma'ruf Amin
Sementara itu, Wakil Presiden (Wapres) Ma'ruf Amin menyebut kritik yang dilayangkan oleh kalangan civitas academica merupakan bagian dari dinamika politik yang harus ditanggapi oleh pemerintah.
Hal tersebut diungkapkan oleh Ma'ruf di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Abu Dhabi, Al Yaqout Street, Abu Dhabi, Persatuan Emirat Arab (PEA), Selasa (6/2/2024).
"Dinamika politik apa pun, pemerintah harus perhatikan, artinya meng-assurance dan mengambil langkah-langkah berikutnya seperti apa," ujar Ma'ruf.
Maruf berharap aksi para akademisi ini bagian dari dinamika positif yang tidak akan membawa keresahan pada bangsa Indonesia.
"Mudah-mudahan saja hanya sampai di pernyataan sehingga bisa diatasi, sehingga tidak menimbulkan hal-hal yang lebih jauh,” ungkapnya.
Sebagian artikel ini telah tayang di TribunJakarta.com dengan judul: Soal Jokowi Bagikan Bansos Jelang Pemilu, Pengamat: Gerakan Kritik Civitas Akademika Kalah Dampaknya.
(Tribunnews.com/Deni/Fahdi Fahlevi)(TribunJakarta.com/Elga Hikari Putra)