UTA '45 Jakarta Diminta Ikut Kritisi Jokowi, Rudyono: Haram Politik Praktis Atasnamakan Kampus
Ia mengingatkan, tugas dari perguruan tinggi ialah melakukan kegiatan pendidikan atau belajar-mengajar dalam rangka pengembangan sumber daya manusia
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Acos Abdul Qodir
Laporan wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Dewan Pembina Yayasan Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta (UTA '45 Jakarta) Rudyono Darsono mengaku turut diminta mengkrititisi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) yang gagal menjaga demokrasi pada Pilpres 2024, sebagaimana dilakukan sejumlah sivitas akademika perguruan tinggi belakangan ini.
Namun, ia menolak permintaan tersebut lantaran bertolak belakangan dengan prinsip-prinsip perguruan tinggi.
Rudyono menegaskan, pihaknya melarang pelibatan sivitas akademika dalam politik praktis di kampus.
"Kami tegaskan Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta sebagai Institusi pendidikan, mengharamkan semua kegiatan politik praktis atas nama kampus," ujar Rudyono dalam keterangan pers yang diterima Tribunnews, Jumat (9/2/2024).
Ia mengingatkan, tugas dari perguruan tinggi ialah melakukan kegiatan pendidikan atau belajar-mengajar dalam rangka pengembangan sumber daya manusia (SDM).
Selain itu, perguruan tinggi adalah wadah untuk mengembangkan kemampuan berpikir serta mencerdaskan anak bangsa, yang beretika, berakhlak, nasionalis dan berbudi luhur.
"Bukan untuk melakukan kegiatan politik praktis di kampus atau atas nama kampus, yang setelah kami pelajari temanya bukan untuk persatuan, malah justru berpotensi membuat perpecahan antar anak bangsa," papar Rudyono.
Baca juga: Ahok Klarifikasi soal Jokowi-Gibran Tak Bisa Kerja, Singgung Ban Serep hingga Joki Presiden
Lebih lanjut, Rudyono mengatakan persoalan dalam demokrasi di Indonesia, bukan hanya menjadi tanggung jawab satu pihak, apalagi seorang saja.
Tapi, seluruh pihak terkait. Sebab, seperti korupsi, dimana permasalahan itu telah terjadi di seluruh institusi penyelenggara negara. Istilahnya, trias koruptika.
"Saya rasa tidak masuk dalam akal sehat kita sebagai seorang intelektual ya, apalagi kita sebagai akademisi yang banyak menganalisa semua kegiatan pemerintahan (menyalahkan satu orang saja atas persoalan demokrasi)," ujarnya.
"Jadi, kalau kita mau bersuara, ya harus benar-benar komprehensif dan adil, tidak memihak kepada salah satu kepentingan," tandasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.